Sasirangan adalah kain adat suku
Banjar di Kalimantan Selatan, yang dibuat dengan teknik tusuk jelujur kemudian
diikat tali rafia dan selanjutnya dicelup.
A. Sejarah
Kain Sasirangan umumnya digunakan sebagai kain adat yang
biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari
kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara
menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga
kini sasirangan masih dibuat secara manual.
Menurut sejarahnya, Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat
Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal sebagai
kain untuk “batatamba” atau
penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih
dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti
kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut
sasirangan kain pamintaan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan
orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa
dipakai pada upacara-upacara adat.
Pada zaman dahulu kala kain sasirangan diberi warna sesuai dengan tujuan
pembuatannya, yakni sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan suatu
jenis penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang.
Arti Warna Sasisangan :
1. Kain sasirangan warna kuning merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya
sedang dalam proses mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa)
2. Kain sasirangan warna merah merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang
dalam proses mengobati penyakit sakit kepala, dan sulit tidur (imsonia)
3. Kain sasirangan warna hijau merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang
dalam proses mengobati penyakit lumpuh (stroke)
4. Kain sasirangan warna hitam merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang
dalam proses mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal
5. Kain sasirangan warna ungu merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang
dalam proses mengobati penyakit sakit perut (diare, disentri, dan kolera)
6. Kain sasirangan warna coklat merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya
sedang dalam proses mengobati penyakit tekanan jiwa (stress)
Dahulu kala kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna yang dibuat dari
bahan-bahan yang bersifat alami, yakni dibuat dari biji, buah, daun, kulit,
atau umbi tanaman yang tumbuh liar di hutan atau sengaja ditanam di sekitar
tempat tinggal para pembuat kain sasirangan itu sendiri.
Ada 6 warna utama kain sasirangan yang dibuat dari zat pewarna alami dimaksud,
yakni :
1. Kuning, bahan pembuatnya adalah kunyit atau temulawak
2. Merah, bahan pembuatnya adalah gambir, buah mengkudu, lombok merah, atau
kesumba (sonokeling, pen)
3. Hijau, bahan pembuatnya adalah daun pudak atau jahe
4. Hitam, bahan pembuatnya adalah kabuau atau uar
5. Ungu, bahan pembuatnya adalah biji buah gandaria (bahasa Banjar Ramania,
pen)
6. Coklat, bahan pembuatnya adalah uar atau kulit buah rambutan
Supaya warnanya menjadi lebih tua, lebih muda, dan supaya tahan lama (tidak
mudah pudar), bahan pewarna di atas kemudian dicampur dengan rempah-rempah lain
seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka,
atau terusi.
B. Proses Pembuatan
Secara garis besar urutan proses
pembuatan kain sasirangan adalah sebagai berikut :
C.
Motif Kain Sasirangan
Motif-motif kain sasirangan banyak sekali jumlahnya. Motif yang umum diketahui
yaitu beberapa motif berikut ini :
1. Iris Pudak
2. Kambang Raja
3. Bayam Raja
4. Kulit Kurikit
5. Ombak Sinapur Karang
6. Bintang Bahambur
7. Sari Gading
8. Kulit Kayu
9. Naga Balimbur
10. Jajumputan
11. Turun Dayang
12. Kambang Tampuk Manggis
13. Daun Jaruju
14. Kangkung Kaombakan
15. Sisik Tanggiling
16. Kambang Tanjung
SEJARAH KAIN SASIRANGAN
Kain sasirangan adalah sejenis kain yang diberi gambar dengan corak dan warna
tertentu yang sudah dipolakan secara tradisional menurut citarasa budaya yang
khas etnis Banjar di Kalsel.
Secara etimologis istilah Sasirangan bukanlah kata benda sebagaimana yang
dikesankan oleh pengertian di atas, tapi adalah kata kerja. "Sa"
artinya satu dan "sirang" artinya jelujur. Ini berarti
"sasirangan" artinya dibuat menjadi satu jelujur.Menurut sejarah sekitar
abad XII sampai abad ke XIV pada masa kerajaan Dipa, di Kalimantan Selatan
telah dikenal masyarakat sejenis batik sandang yang disebut Kain Calapan yang
kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.
Menurut cerita rakyat atau sahibul hikayat, kain sasirangan yang pertama dibuat
yaitu tatkala Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas
rakit balarut banyu. Menjelang akhir tapanya rakit Patih tiba di daerah Rantau
kota Bagantung. Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengan suara
seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di
Banua ini. Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang
dimintanya dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari
dan kain dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40
orang putri dengan motif wadi / padiwaringin. Itulah kain calapan / sasirangan
yang pertama kali dibuat.
Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak
warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas
(vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara
social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).
Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana
kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada
tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas
sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara
Dipa.
Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini
dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain
langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai
oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita
yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu
memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak
bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai
pekerjaan utama. Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para
pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat
memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk
dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.
Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat
membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu
hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung
Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang
selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang
masih perawan.
Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat clipenuhi dengan mudah oleh
Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu
banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang
masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan
mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih. Pada hari yang telah
disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat
persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika
itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil
dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain
adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang
masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Merujuk kepada paparan yang ada di dalam Hikayat Banjar (selesai ditulis tahun
1635), kain langgundi sebagai cikal bakal kain sasirangan sudah dikenal orang
sejak tahun 1365 M. Namun, sudah barang tentu kain langgundi yang dibuat pada
kurun-kurun waktu dimaksud sudah tidak mungkin ditemukan lagi artefaknya.
Menurut laporan Wulan (2006), kain sasirangan yang paling tua berusia sekitar
300 tahun. Kain sasirangan ini dimiliki oleh Ibu Ida Fitriah Kusuma, salah
seorang warga kota Banjarmasin (Tulah Mata Picak Tangan Tengkong, SKH Mata
Banua Banjarmasin, Senin, 13 November 2006, hal 1 bersambung ke hal 13).
Konon, sejak Putri Junjung Buih mengenakan kain langgundi, maka sejak itu pula,
warga negara Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi. Mereka
khawatir akan kualat karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu
menjadi raja putri junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi
tidak lagi membuatnya, karena pangsa pasarnya memang sudah tidak ada lagi.
Meskipun demikian, kain langgundi ternyata tidaklah punah sama sekali. Beberapa
orang warga negara Kerajaan Negara Dipa masih tetap membuatnya. Kali ini kain
langgundi dibuat bukan untuk dijadikan sebagai bahan pembuat busana harian,
tetapi sebagai bahan pembuat busana khusus bagi mereka yang mengidap penyakit
pingitan. Penyakit pingitan adalah penyakit yang diyakini sebagai penyakit yang
berasal dari ulah para arwah leluhur yang linggal di alam roh (alam barzah).
Menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di
Kalsel, konon para arwah leluhur itu secara berkala akan menuntut anak, cucu,
buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi. Begitulah,
setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah, piat
keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Tidak ada obat
lain yang dapat menyembuhkannya dari penyakit pingitan itu kecuati mengenakan
kain langgundi. Kain langgundi yang di pergunakan sebagai sarana pelengkap
dalam terapi pengobatan alternatif itu dibuat dalam berbagai bentuk sesuai
dengan keperluan, seperti sarung (tapih bahalai), bebat (babat), selendang
(kakamban), dan ikat kepala (laung). Corak dan warna gambar kain langgundi
sangatlah beragam (tidak melulu bercorak getas dan berwarna dasar kuning saja),
karena setiap jenis penyakit pingitan menuntut adanya kain langgundi dengan
corak dan warna gambar tertentu yang saling berbeda-beda. Sejak dipergunakan
sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif inilah kain
langgundi lebih dikenal sebagai kain sasirangan. Nama ini berkaitan dengan cara
pembuatan, yakni disirang (kain yang dijelujur dengan cara dijahit kemudian
dicelup ke dalam zat pewarna).
Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain
untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin
sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika
pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun
1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
jasmani seluruh warga negara.
Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain
untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin
sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika
pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun
1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
jasmani seluruh warga negara.
Setelah Putri Junjung Buih, kemudian Pangeran Surianata, dan anak, cucu, buyut,
intah, piat keturunannya berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, kain langgundi hanya
boleh dikenakan sebagai busana kebesaran para bangsawan kerajaaan. Rakyat
jelata tidak berani mengenakannya sebagai busana harian karena, takut terkena
tulah. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika, itu (sesudah tahun 1335)
merujuk kepada fungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani
bagi para bangsawan kerajaan saja.
Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14-15 kain sasirangan berubah menjadi
kain yang dikeramatkan dan kain Pamintaan, yakni kain yang hanya dibuat
berdasarkan permintaan anak, cucu, buyut, intah piat para bangsawan pengidap
penyakit pingitan. Konon, diyakini tidak ada obat lain yang mujarab bagi para
pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan kain sasirangan di
kepala (ikat kepala, selendang), di perut (bebat), atau bahkan menjadikannya
sebagai selimut fidur (sarong).
Menurut penuturan nenek Jumantan (72 tahun), seorang juru sembuh terkenal di
kota Banjarmasin, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya
tidak lain adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah
dengan nenek moyang mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari
(Wulan, 2006).
Patut diduga, nenek moyang para pasien nenek Jumantan tersebut tidak lain
adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari 40 orang wanita perawan yang dulu
berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan kain langgundi yang diminta oleh Putri
Junjung Buih. Ini berarti fungsi kain sasirangan sudah bergeser.
Perbedaan asal-usul geneologis nenek moyang antara anak, cucu, keturunan
bangsawan berdarah biru menuntut perlakuan yang berbeda dalam hal proses
penyembuhan. Proses penyembuhan penyakit yang dideritanya, keturunan rakyat
jelata dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Sekadar meminum air
putih yang sudah diberi mantra-mantra atau doa-doa oleh para juru sembuhnya.
Sementara proses penyembuhan penyakit yang diderita oleh keturunan bangsawan
sudah mengalami perumitan yang sedemikian rupa. Proses penyembuhan penyakit
yang mereka derita harus dilengkapi dengan terapi mengenakan kain sasirangan
yang harganya relatif mahal. Paparan ini merupakan petunjuk bahwa kain
sasirangan pada zaman dahulu kala pernah menjadi simbol status sosial di
kalangan etnis Banjar di Kalsel. Kasus semacam ini masih terjadi hingga
sekarang ini.
Rakyat jelata yang hidupnya miskin hanya diberi fasilitas pengobatan setara
dengan dana yang tersedia dalam program asuransi kesehatan bagi rakyat miskin.
Sementara itu para pejabat bahkan para mantan pejabat diberi fasilitas
pengobatan yang terbilang istimewa dan dirawat di rumah sakit berkelas dengan
dana ditanggung negara.
Menurut keterangan nenek Antung Kacit, siapa saja yang nenek moyangnya bukan
keturunan bangsawan atau bukan keturunan pembuat kain sasirangan, akan kualat
karena terkena tulah yang sangat menakutkan, yakni ninta picak tangan tengkong
(bahasa Banjar, arfinya mata buta dan tangan coati rasa karena terkena stroke).
Tahun 1981, Ida Fitriah Kusuma dan kawan-kawan datang bertandang ke rumah nenek
Antung Kacil, seorang juru sembuh yang menjadikan kain sasirangan sebagai
sarana pelengkap terapi pengobatannya. Mereka meminta kesediaan nenek Antung
Kacil mengajarkan kiat-kiat membuat kain sasirangan.
Pada mulanya Antung Kacil tidak bersedia. la khawatir Ida Fitriah Kusuma dan
kawan-kawan terkena tulah mata picak tangan tengkong, karena telah berani
belajar membuat kain sasirangan secara tanpa hak sesuai dengan yang disyaratkan
sejak zaman dahulu kala. Tanpa maksud menantang bahaya, Ida Fitriah Kusuma dan
kawan-kawan menyatakan siap, menanggung tulah itu. Mereka yakin tidak akan
kualatkerkena tulah itu karena tujuan mereka belajar membuat kain sasirangan kepada.
Antung Kacil semata-mata didasari dengan niat tulus, yakni ikut melestarikan
salah satu kekayaan budaya milik bersama, etnis Banjar yang terancam punch.
Akhirnya, hati Antung Kacil luluh juga. Pada, tanggal 24 Juli 1982, Ida Fitriah
Kusuma sudah berani mengajarkan ilmu yang barn dikuasainya kepada ibu-ibu warga
kota Banjarmasin yang berminat. Selepas pelatihan itu, yakni tanggal 10 Agustus
1982, mereka membentuk Kelompok Kerja Pembuat Kain sasirangan Banawati (Wulan,
2006).
Kain sasirangan produksi mereka mulai diperkenatkan kepada khalayak ramai pada
tanggal 27 Desember 1982. Ketika itu mereka menggelar peragaan busana kain
sasirangan di Hotel Febiola Banjarmasin. Sambutannya sungguh luar biasa. Sejak
itu kain sasirangan mulai dikenal lugs oleh segenap anggota masyarakat di
Kalsel.
Bak gayung bersambut, kata berjawab, Gubernur Kalsel Ir HM Said kemudian
mengeluarkan kebijakan mewajibkan para PNS mengenakan baju berbahan kain
sasirangan pada setiap hari Jumat (1985). Tidak hanya itu, para calon jemaah
haji Kalsel juga, diwajibkan mengenakan baju berbahan kain sasirangan pada scat
upacara pelepasan keberangkatan mereka di Aula Asrama Haji Landasan Ulin
Banjarbaru.
Tahun 1987, kain sasirangan dipamerkan di Departemen Perindustrian Jakarta.
Pihak pemerintah daerah berinisiatif memberikan cinderamata kain sasirangan
berkuahtas istimewa kepada para pejabat tinggi sipil dan militer yang
berkunjung ke daerah kalsel.
Sejak tahun 1985 fungsi kain sasirangan sudah kembali menjadi kain yang
berfungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga
negara sebagaimana yang dulu berlaku sebelum tahun 1355. Tidak lagi berfungsi
khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan rohani para pengidap penyakit
pingitan.
Penulis : Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.
dimuat oleh Harian Sinar Kalimantan Pada tanggal 4 -5 Februari 2008
MOTIF DAN CORAK KAIN SASIRANGAN
Kain Sasirangan adalah kain yang didapat dari proses pewarnaan rintang dengan
menggunakan bahan perintang seperti tali, benang atau sejenisnya menurut
corak-corak tertentu. Pada dasarnya teknik pewarnaan rintang mengakibatkan
tempat-tempat tertentu akan terhalang atau tidak tertembus oleh penetrasi
larutan zat warna. Prosesnya sering diusahakan dalam bentuk industri rumah
tangga, karena tidak diperlukan peralatan khusus, cukup dengan tangan saja
untuk mendapatkan motif maupun corak tertentu, melalui teknik jahitan tangan
dan ikatan.
Sebagai bahan baku kainnya, yang banyak digunakan hingga saat ini adalah bahan
kain yang berasal dari serat kapas (katun). Hal tersebut disebabkan karena pada
mulai tumbuhnya pembuatan kain celup ikat adalah sejalan dengan proses celup
rintang yang lain seperti batik dan tekstil adat. Untuk saat ini pengembangan
bahan baku cukup meningkat, dengan penganekaragaman bahan baku non kapas
seperti : polyester, rayon, sutera, dan lain-lain.
Desain/corak didapat dari teknik-teknik jahitan dan ikatan yang ditentukan oleh
beberapa faktor, selain dari komposisi warna dan efek yang timbul antara lain :
jenis benang/jenis bahan pengikat.
Dengan mengkombinasikan antara motif-motif asli yang satu dengan motif asli
yang lainnya, maka kain kain sasirangan makin menarik dan kelihatan modern
Selain itu motif-motif tersebut dimodifikasi sehingga menciptakan motif-motif
yang sangat indah namun tidak meninggalkan ciri khasnya. Adapun corak atau
motif yang dikenal antara lain Kembang Kacang, Ombak Sinapur Karang, Bintang
Bahambur, Turun Dayang, Daun Jaruju, Kangkung Kaombakan, Kulit Kayu,
Sarigading, Parada dll.
Upaya untuk melindungi budaya Banjar ini, telah diakui oleh pemerintah melalui
Dirjen HAKI Departemen Hukum dan HAM RI beberapa motif sasirangan sebagai
berikut :
1. Iris Pudak
2. Kambang Raja
3. Bayam Raja
4. Kulit Kurikit
5. Ombak Sinapur Karang
6. Bintang Bahambur
7. Sari Gading
8. Kulit Kayu
9. Naga Balimbur
10. Jajumputan
11. Turun Dayang
12. Kambang Tampuk Manggis
13. Daun Jaruju
14. Kangkung Kaombakan
15. Sisik Tanggiling
16. Kambang Tanjung
Produk barang jadi yang dihasilkan dari kain Sasirangan yaitu Kebaya, Hem,
Selendang, Jilbab, Gorden, Taplak Meja, Sapu Tangan, Sprei dll. Penggunaan Kain
Sasirangan inipun lebih meluas yaitu untuk busana pria maupun wanita yang
dipakai sehari-hari baik resmi atau tidak.
source link : klik disini
source link : klik disini
source link : klik disini
SASIRANGAN DAN MASYARAKAT
Seperti halnya batik di Jawa, Sasirangan ini merupakan batik tradisional di
Banjarmasin yang mampu bersaing di pasar asing, Australia.
Sasirangan belakangan terus berkembang menyebar ke berbagai daerah seiring
dengan perkembangan dunia mode yang sering mengadaptasi pakaian-pakaian
tradisional. Malah terkadang sasirangan sudah menjadi pilihan pakaian resmi
suatu acara. Soal harga, bisa diperoleh mulai dari puluhan ribu hingga ratusan
ribu rupiah, tergantung jenis kainnya. Kain Sasirangan adalah kain yang didapat
dari proses pewarnaan rintang dengan menggunakan bahan perintang seperti tali,
benang atau sejenisnya menurut corak-corak tertentu. Pada dasarnya teknik
pewarnaan rintang mengakibatkan tempat-tempat tertentu akan terhalang atau
tidak tertembus oleh penetrasi larutan zat warna.
Prosesnya sering diusahakan dalam bentuk industri rumah tangga, karena tidak
diperlukan peralatan khusus, cukup dengan tangan saja untuk mendapatkan motif
maupun corak tertentu, melalui teknik jahitan tangan dan ikatan.
Bahan baku Kain Sasirangan yang banyak digunakan hingga saat ini adalah bahan
kain yang berasal dari serat kapas (katun). Selain itu, pembuatan kain celup
ikat adalah sejalan dengan proses celup rintang yang lain seperti batik dan
tekstil adat. Saat ini pengembangan bahan baku cukup meningkat, dengan
penganekaragaman bahan baku nonkapas seperti, polyester, rayon, ataupun sutra.
Desain/corak didapat dari teknik-teknik jahitan dan ikatan yang ditentukan oleh
beberapa faktor, selain dari komposisi warna dan efek yang timbul antara lain,
jenis benang/jenis bahan pengikat.
source link : klik disini
A. MAKNA KAIN SASIRANGAN
Kain sasirangan yang merupakan kerajinan khas daerah Kalimantan Selatan
(Kalsel) menurut para tetua masyarakat setempat, dulunya digunakan sebagai ikat
kepala (laung), juga sebagai sabuk dipakai kaum lelaki serta sebagai selendang,
kerudung, atau udat (kemben) oleh kaum wanita. Kain ini juga sebagai pakaian
adat dipakai pada upacara-upacara adat, bahkan digunakan pada pengobatan orang
sakit. Tapi saat ini, kain sasirangan peruntukannya tidak lagi untuk spiritual
sudah menjadi pakaian untuk kegiatan sehari-hari, dan merupakan ciri khas
sandang dari Kalsel.
Di Kalsel, kain sasirangan merupakan salah satu kerajinan khas daerah yang
perlu dilestarikan dan dikembangkan. Kata “Sasirangan” berasal dari kata sirang
(bahasa setempat) yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik
benangnya atau dalam istilah bahasa jahit menjahit dismoke/dijelujur. Kalau di
Jawa disebut jumputan. Kain sasirangan dibuat dengan memakai bahan kain mori,
polyester yang dijahit dengan cara tertentu. Kemudian disapu dengan bermacam-macam
warna yang diinginkan, sehingga menghasilkan suatu bahan busana yang bercorak
aneka warna dengan garis-garis atau motif yang menawan.
Kain Sasirangan ini asal mulanya digunakan atau dipercaya untuk kesembuhan bagi
orang yang tertimpa suatu penyakit (pamintaan). Kain ini dipakai pada upacara
adat suku daerah Banjar. Kain sasirangan ini berbentuk laung (ikat kepala),
kekamban (kerudung) dan tapih bumin (kain sarung). Sebagai bahan pewarna
diambil dari bahan bahan pewarna alam seperti jahe, air pohon pisang, daun
pandan dll.
Menurut sejarah sekitar abad XII sampai abad ke XIV pada masa kerajaan Dipa, di
Kalimantan Selatan telah dikenal masyarakat sejenis batik sandang yang disebut
Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.
Menurut cerita rakyat atau sahibul hikayat, kain sasirangan yang pertama dibuat
yaitu tatkala Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas
rakit balarut banyu. Menjelang akhir tapanya rakit Patih tiba di daerah Rantau
kota Bagantung. Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengan suara
seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di
Banua ini. Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang
dimintanya dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari
dan kain dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40
orang putri dengan motif wadi / padiwaringin. Itulah kain calapan / sasirangan
yang pertama kali dibuat.
B. PEMBUATAN KAIN SASIRANGAN
Kain Sasirangan adalah kain yang didapat dari proses pewarnaan rintang dengan
menggunakan bahan perintang seperti tali, benang atau sejenisnya menurut
corak-corak tertentu. Pada dasarnya teknik pewarnaan rintang mengakibatkan
tempat-tempat tertentu akan terhalang atau tidak tertembus oleh penetrasi
larutan zat warna. Prosesnya sering diusahakan dalam bentuk industri rumah
tangga, karena tidak diperlukan peralatan khusus, cukup dengan tangan saja
untuk mendapatkan motif maupun corak tertentu, melalui teknik jahitan tangan
dan ikatan.
Sebagai bahan baku kainnya, yang banyak digunakan hingga saat ini adalah bahan
kain yang berasal dari serat kapas (katun). Hal tersebut disebabkan karena pada
mulai tumbuhnya pembuatan kain celup ikat adalah sejalan dengan proses celup
rintang yang lain seperti batik dan tekstil adat. Untuk saat ini pengembangan
bahan baku cukup meningkat, dengan penganekaragaman bahan baku non kapas
seperti : polyester, rayon, sutera, dan lain-lain.
Desain/corak didapat dari teknik-teknik jahitan dan ikatan yang ditentukan oleh
beberapa faktor, selain dari komposisi warna dan efek yang timbul antara lain :
jenis benang/jenis bahan pengikat. Dengan mengkombinasikan antara motif-motif
asli yang satu dengan motif asli yang lainnya, maka kain kain sasirangan makin
menarik dan kelihatan modern Selain itu motif-motif tersebut dimodifikasi
sehingga menciptakan motif-motif yang sangat indah namun tidak meninggalkan
ciri khasnya. Adapun corak atau motif yang dikenal antara lain Kembang Kacang,
Ombak Sinapur Karang, Bintang Bahambur, Turun Dayang, Daun Jaruju, Kangkung
Kaombakan, Kulit Kayu, Sarigading, Parada dll.
Produk barang jadi yang dihasilkan dari kain Sasirangan yaitu Kebaya, Hem,
Selendang, Jilbab, Gorden, Taplak Meja, Sapu Tangan, Sprei dll. Penggunaan Kain
Sasirangan inipun lebih meluas yaitu untuk busana pria maupun wanita yang
dipakai sehari-hari baik resmi atau tidak.
source link : klik disini
Proses Pembuatan Kain Sasirangan
Pertama menyirang kain, Kain dipotong secukupnya disesuaikan untuk keperluan
pakaian wanita atau pria. Kemudian kain digambar dengan motif-motif kain adat,
lantas disirang atau dijahit dengan tangan jarang-jarang/renggang mengikuti
motif. Kain yang telah dijahit, ditarik benang jahitannya dengan tujuan untuk
mengencangkan jahitannya, sehingga kain mengerut dengan rapat dan kain sudah
siap untuk masuk proses selanjutnya.
Kedua penyiapan zat warna, Zat warna yang digunakan adalah zat warna untuk
membatik. Semua zat warna yang untuk membatik dapat digunakan untuk pewarnaan
kain sasirangan. Tapi zat warna yang sering digunakan saat ini adalah zat warna
naphtol dengan garamnya. Bahan lainnya sebagai pembantu adalah soda api (NaOH),
TRO/Sepritus, air panas yang mendidih. Mula-mula zat warna diambil secukupnya,
kemudian diencerkan/dibuat pasta dengan menambahkan TRO/Spirtus, lantas diaduk
sampai semua larut/melarut. Setelah zat melarut semua, kemudian ditambahkan
beberapa tetes soda api dan terakhir ditambahkan dengan air panas dan air
dingin sesuai dengan keperluan. Larutan harus bening/jernih. Untuk melarutkan
zat warna naphtol sudah dianggap selesai dan sudah dapat dipergunakan untuk
mewarnai kain sasirangan.
Untuk membuat warna yang dikehendaki, maka zat warna naphtol harus
ditimbulkan/dipeksasi dengan garamnya. Untuk melarutkan garamnya, diambil
sesuai dengan keperluan kemudian ditambahkan air panas sedikit demi sedikit
sambil diaduk-aduk kuat-kuat sehingga zat melarut semua dan didapatkan larutan
yang bening. Banyaknya larutan disesuaikan dengan keperluan. Kedua larutan
yaitu naphtol dan garam sudah dapat dipergunakan untuk mewarnai kain
sasirangan, yaitu dengan cara pertama-tama mengoleskan/menyapukan zat warna
naphtol pada kain yang telah disirang yang kemudian disapukan lagi/dioleskan
larutan garamnya sehingga akan timbul warna pada kain sasirangan yang sudah
diolesi sesuai dengan warna yang diinginkan. Setelah seluruh kain diberi warna,
kain dicuci bersih-bersih sampai air cucian tidak berwarna lagi.
Kain yang sudah bersih, kemudian dilepaskan jahitannya sehingga terlihat
motif-motif bekas jahitan diantara warna-warna yang ada pada kain tersebut.
Sampai disini proses pembuatan kain sasirangan telah selesai dan dijemur
salanjutnya diseterika dan siap untuk dipasarkan.
Seni tradisional Banjar
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seni
tradisional Banjar adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup
masyarakat dalam suku Banjar. Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang
keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi
adalah bagian dari tradisional namun bisa musnah karena ketidamauan masyarakat
untuk mengikuti tradisi tersebut.
Kultur budaya
yang berkembang di Banjarmasin sangat banyak hubungannya dengan sungai, rawa
dan danau, disamping pegunungan. Tumbuhan dan binatang yang menghuni daerah ini
sangat banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan mereka. Kebutuhan hidup
mereka yang mendiami wilayah ini dengan memanfaatkan alam lingkungan dengan
hasil benda-benda budaya yang disesuaikan. hampir segenap kehidupan mereka
serba relegius. Disamping itu, masyarakatnya juga agraris, pedagang dengan
dukungan teknologi yang sebagian besar masih tradisional.
Ikatan
kekerabatan mulai longgar dibanding dengan masa yang lalu, orientasi kehidupan
kekerabatan lebih mengarah kepada intelektual dan keagamaan. Emosi keagamaan
masih jelas nampak pada kehidupan seluruh suku bangsa yang berada di Kalimantan
Selatan.
Urang Banjar
mengembangkan sistem budaya, sistem sosial dan material budaya yang berkaitan
dengan relegi, melalui berbagai proses adaptasi, akulturasi dan assimilasi.
Sehingga nampak terjadinya pembauran dalam aspek-aspek budaya. Meskipun
demikian pandangan atau pengaruh Islam lebih dominan dalam kehidupan budaya
Banjar, hampir identik dengan Islam, terutama sekali dengan pandangan yang
berkaitan dengan ke Tuhanan (Tauhid), meskipun dalam kehidupan sehari-hari
masih ada unsur budaya asal, Hindu dan Budha.
Seni ukir dan
arsitektur tradisional Banjar nampak sekali pembauran budaya, demikian pula
alat rumah tangga, transport, tari, nyanyian dsb.
Masyarakat
Banjar telah mengenal berbagai jenis dan bentuk kesenian, baik Seni Klasik,
Seni Rakyat, maupun Seni Religius Kesenian yang menjadi milik masyarakat Banjar
Suku Banjar mengembangkan seni dan
budaya yang cukup lengkap, walaupun pengembangannya belum maksimal, meliputi
berbagai cabang seni.
Seni Tari
Seni Tari Banjar terbagi
menjadi dua, yaitu seni tari yang dikembangkan di lingkungan istana (kraton),
dan seni tari yang dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan
nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan
kehalusan gerak dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun
yang lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan
dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan tertentu yang
dianggap tidak sesuai dengan adab islam mengalami sedikit perubahan. Seni tari daerah Banjar yang terkenal misalnya :
Karawitan adalah seni
suara daerah baik vokal atau instrumental yang
mempunyai klarifikasi dan perkembangan dari daerahnya itu sendiri. Karawitan di
bagi 3, yaitu :
- Karawitan Sekar,
- Karawitan Gending,
- Karawitan Sekar Gending.
Sebelum merambah pada penjelasan pembagian
tiga jenis karawitan ini, perlu diketahui bahwa deskripsi karawitan berikut ini
lebih difokuskan pada Karawitan Sunda.
Karawitan
Sekar
Karawitan Sekar merupakan salah satu bentuk
kesenian yang dalam penyajiannya lebih mengutamakan terhadap unsur vokal atau
suara manusia. Karawitan sekar sangat mementingkan unsur vokal. hegar ganteng
Karawitan
Gending
Karawitan Gending merupakan salah satu bentuk
kesenian yang dalam penyajiannya lebih mengutamakan unsur instrumental atau
alat musik. KARAWITAN VOKAL/SEKARAN
Pengertian
Yang dimaksud dengan karawitan vokal atau
lebih dikenal dalam karawitan Sunda dengan istilah Sekar ialah seni suara yang
dalam substansi dasarnya mempergunakan suara manusia. Tentu saja dalam penampilannya
akan berbeda dengan bicara biasa yang juga mempergunakan suara manusia. Sekar
merupakan pengolahan yang khusus untuk menimbulkan rasa seni yang sangat erat
berhubungan langsung dengan indra pendengaran. Dia sangat erat bersentuhan
dengan nada, bunyi atau alat-alat pendukung lainnya yang selalu akrab
bertdampingan
Pada kehidupan orang Sunda pada masa lalau
sejak mereka lahir secara tidak langsung telah didekatkan dengan alunan sekar.
Sejak mereka lahir sang ibu menimang, meninabobokan dengan menggunakan sekar.
Dalam mengajak bermain, dalam tahap-tahap mulai belajar bicara, belajar
berjalan, sekar sangat sering didengarkan oleh orang tua atau pengasuhnya.
Itulah sebabnya lagu-lagu dalam meninabobokan atau ngayun ngambing anak selalu
populer dari masa ke masa, dalam arti kelestariannya terlihat karena selalu
dilakukan dari generasi ke generasi.
Seperti telah diterangkan di atas, sekar
mempunyai kedudukan yang tersendiri dalam kehidupan karawitan, walaupun pada
dasarnya sekar berbeda dengan bicara biasa, sekar sangat dekat bahkan terkadang
sangat dominant dengan lagam bicara atau dialek. Dialek Cianjur, Garut, Ciamis,
Majalengka dalam mengungkapkan percakapan seringkali seolah-olah bermelodi
seperti bernyanyi. Oleh karena kesan dialek yang sangat erat itulah kiranya
banyak orang luar daerah Sunda yang secara tidak langsung menyebutkan bahwa
cara bicara orang Sunda seperti bernyanyi. Memang erat dengan penggunaan
kata-kata di dalamnya tetapi kata-kata dalam sekar telah diolah sedemikian rupa
sehingga berbentuklah penampilan secara utuh menjadi sebuah komposisi lagu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kata dalam kedudukan sekar merupakan salah satu
alat pengungkap masalah atau tema yang diketengahkan. Kata yang sama dapat
diungkapkan dalam berbagai lagu/melodi, menurut kehendak rasa seni si pencipta
itu sendiri. Akan tetapi tanpa disadari bahwa terkadang dalam kehidupan sekar
tidak selalu dipergunakan kata secara utuh, sering terdengar suara bunyi
dijadikan lagu. Hal ini sering terjadi dalam lagu-lagu tertentu, misalnya hanya
mempergunakan bunyi a saja atau nang neng nong atau hm dan lain-lain.
Penggunaan kata yang tidak jelas sering didapati apabila bersenandung atau
ngahariring/hariring.
Dari kesimpulan itu, dapatlah ditarik
beberapa hal yang sangat erat bertalian dengan sekar, yaitu: Lagam bicara
dialek adalah khas daerah tertentu dalam berbicara sehari-hari yang dari
ungkapannya dapat kita tarik satu garis melodi yang sangat erat bertalian
dengan nada. Contoh dapat ditemukan dalam kata Punten, Masya Allah di daerah
Cianjur. Khusus untuk lagam bicara ini dalam gending karesmen, sering ditemukan
teknik bernyanyi dan lagu yang dipergunakan dalam dialog yang secara utuh
mempergunakan lagam bicara. Hanya dalam pengungkapannya dilakukan lagam bicara.
Jadi, dia berbicara dalam nada. Sifatnya kebanyakan datar atau melengking
tinggi. Lagu yang demikian dikenal dengan sebutan sekar biantara (nyanyian
bicara). Dalam pergelaran wayang golek sangat terasa sekali dalam
memerankan/antawacana tokoh-tokoh tertentu yang selalu mempergunakan lagu
bicara, sangat terasa pula dalam nyandra.
Contoh kata-kata yang sangat lekat dengan
lagu dalam lagam bicara antara lain:
a) Pun……ten
b) Sorangan bae yeuh…….!
c) Tunjuk-tunjuk hey, sakali deui…hey!
Dalam pergelaran wayang golek, hal ini akan
terasa pada tokoh Semar, misalnya pada biantara di bawah ini:
Aduh aduh ngeran
Sumangga ieu abdi lurah Semar Kudapawana
nyanggakeun sembah pangbakti
Ageung alit kalepatan mugia ngahapunten,
Ngeran……..
Beberapa sebutan yang berkaitan dengan
sekaran
1.1. Ngahariring (Senandung)
Sifat dari ngahariring biasanya dibawakan
secara halus sekali, pemakaian kata dalam lagu lebih menonjol kata bunyi.
Pengertian halus disini lain sekali dengan dinamika lagu. Halus dalam membawakan
hariring adalah makna dari sikap yang cenderung bernyanyi untuk diri sendiri.
Ngahariring dalam kehidupan sehari-hari sangat erat hubungannya dengan pengisi
jiwa sambil bekerja. Ngahariring dapat bersifat improvisasi ataupun lagu yang
telah ada. Kata bekerja lain dari ngaharirirng adalah bersenandung dengan
volume suara yang halus, lunak agar penampilannya itu tidak berisik sehingga
mengganggu orang lain. Sering pula hal ini terjadi bila seseorang sedang
mempelajari lagu yang belum dikuasai. Suasana ngahariring timbul lebih
cenderung dalam keadaan gembira sambil bekerja. Dalam penampilannya,
ngahariring dapat saja menjadi lain, hal ini tergantung dari kalimat yang
dipergunakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
ngahariring adalah bernyanyi hanya ungkapannya lebih dalam untuk diri sendiri
atau dengan kata lain kesannya lebih subjektif.
1.2. Ngahaleuang
Pada dasarnya ngahaleuang berarti bernyanyi.
Haleuang berarti nyanyian/sekar. Kalau dilihat dari sifat penyajiannya
ngahaleuang terasa lebih terbuka, lebih keluar dan lantang. Jadi, pengaruh
terhadap surupan itu sendiri sangat kuat sekali. Lagu-lagu Tembang sangat
jarang ditafsirkan sebagai ngahaleuang. Dilihat dari tempo lagu, biasanya
istilah ngahaleuang banyak mempergunakan tempo sedang.
1.3. Galindeng
Kata Galindeng erat sekali dengan sekar,
bahkan sering sekali menunjukan arti suara dari seorang penyanyi yang biasanya
lebih tepat pada suara-suara yang empuk, halus. Ngagalindeng artinya suara
(nyanyian) yang dibawakan secara penuh perasaan, terutama pada suara-suara
(bagian melodi) yang penuh dengan mamanis (kembangan-kembangan)
1.4. Babaung
Penempatan kata babaung adalah tahap kata
yang kasar untuk bernyanyi. Biasanya kalau suaranya tidak enak atau membetulkan
agar nyanyiannya dilakukan yang benar. Itu pun terbatas pada kelakar atau
sindiran tertentu saja, dilakukan pada orang yang lebih muda atau sesama yang
sudah akrab.
1.5. Kakawihan dan Tetembangan
Walaupun pada dasarnya Tembang dan Kawih
berbeda lagam, pengertian kakawihan dan tetembangan mempunyai arti yang sama.
Kakawihan atau Tetembangan ialah menyanyikan lagu dengan cara-cara seenaknya,
cenderung mengisi suasana untuk diri sendiri. Sebagai contoh ketika sedang
mandi, sedang berdandan, melakukan pekerjaan dan lain-lain. Lagunya yang telah hapal
atau sering pula diberi improvisasi-improvisasi spontan.
Pembagian Sekar Menurut Bentuk
Menurut bentuk ditinjau dari penggunaan
irama, karawitan sekar dibagi dua bagian besar yaitu : Sekar Irama Merdeka
(bebas irama) dan Sekar Tandak (ajeg, tetap)
2.1. Sekar Irama Merdeka
Yang dimaksud dengan sekar irama merdeka
ialah sekar (vokal, nyanyian) yang dalam membawakan lagunya tidak terikat oleh
irama. Panjang pendeknya dalam membawakan lagu, terutama pada bagian-bagian
frase lagu (kenongan, goongan) bebas menurut keinginan juru sekar itu sendiri.
Walaupun demikian, bukan berarti bahwa kebebasan itu bisa berlanjut panjang
tanpa ketukan sama sekali, ketukan masih tetap ada, hanya sifatnya semu yang
bersatu dalam ungkapan perasaan pada waktu membawakan lagunya. Para tokoh
tembang lebih cenderung menyebutnya dengan istilah wirahma.
Lagu-lagu yang dibawakan sekar irama merdeka
biasanya bersifat lagu anggana (solo) dengan melodi lagu yang masih bisa
dikembangkan oleh pribadi-pribadi penyanyi terutama dalam menghias
mamanis-mamanisnya. Mamanis-mamanis itu akan terasa pada senggol-senggol atau
pedotan kenongan dan goongan lagu. Dikenal beberapa istilah seperti :
Leot, Cacag, Galasar, Reureueus, Gedag dan lain-lain.
Materi-materi sekar yang terdapat pada
kelompok sekar irama merdeka antara lain: Tembang, Beluk, Kakawen.
2.1.1. Tembang
Tembang Sunda sangat populer sekali dalam
masyarakat Sunda. Tembang Sunda dikenal sebagai musik kamar (kamermuziek).
Cirri khas dalam iringan tembang Sunda adalah iringan kacapi sulingnya. Pada
awalnya Tembang Sunda hidup dalam lingkungan menak-menak (elite). Isi ungkapan
yang diketengahkan dalam tembang Sunda antara lain tentang:
a. Sanjungan terhadap leluhur, terutama pada
kejayaan dan “tilemnya” kerajaan Pajajaran
b. Keindahan-Keindahan alam Priangan
c. Ungkapan percintaan. Tema percintaan yang
diketengahkan banyak gambaran tentang seseorang yang jatuh cinta atau merasa
sakit hati karena dikhianati cintanya.
Tembang sangat erat bersentuhan dengan
kesusatraan. Satu hal yang paling menojol adalah Pupuh. Ada beberapa pendapat
bahwa kehadiran dan perkembangan tembang banyak tali-temalinya dengan pengaruh
pupuh yang masuk pada jaman Mataram dahulu. Walaupun demikian, banyak pula yang
tidak mempergunakan pupuh sebagai “ugeran” (patokan) untuk rumpakanya (syair
lagu), yaitu dengan mempergunakan bentuk papantunan. Bahkan pada perkembangan
sekarang, tidak menutup kemungkinan menggunakan sajak-sajak bebas. Dari
kekebasan penggunaan rumpaka atau iringan, terbetiklah bentuk lain yang lebih bersifat
style (gaya), diantaranya dikenal dengan nama-nama: Papantunan, Jejemplangan,
Rarancagan. Sedangkan lagam-lagam dari Tembang Sunda diketahu ada Lagam
Cianjura, Ciawian, Cigawiran, Garutan, Sumedangan.
Memang demikianlah bahwa nama daerah itu
akhirnya yang menjadi nama dari lagam-lagam itu. Kalau kita lihat dari
penyajian karawitan memang terdapat kebedaan-kebedaan yang cukup menyolok.
Misalnya saja antara bentuk Cianjuran dan Ciawian. Perbedaannya banyak pula
dipengaruhi oleh penggunaan laras. Cianjuran kebanyakan berlaras pelog,
sedangkan Ciawian banyak mempergunakan laras salendro. Hal lain banyak terletak
pada interpretasi ungkapan lagu. Sekaligus membedakan dalam menempatkan
unsure-unsur mamanis didalamnya.
Kalau masyarakat luas lebih banyak mengenal
Tembang Cianjuran tentunya bukan berpijak pada nilai-nilai yang terkandung
dalam kedua lagam itu, tetapi dari histories penyebarannya, lagam Cianjuran
ternyata lebih meluas. Sampai-sampai ada keinginan untuk menyebut tembang Sunda
itu sebagai tembang Cianjuran saja.
Beberapa nama lagu dalam Tembang Sunda:
Papatet, Mupu Kembang, Jemplang Titi, Liwung, Asmarandana Degung, Jemplang
Karang dan lain-lain.
Dalam sekar tembang Sunda Cianjuran, yang
menjadi ciri utamanya adalah ornamentasi atau dongkari. Dongkari adalah teknik
menghasilkan suara yang diolah dengan cara tertentu guna memberikan mamanis
pada lagu. Dalam praktik vokal tembang Sunda Cianjuran, kedudukan dongkari
sangat penting karena merupakan dasar utama bagi vokal tembang Sunda Cianjuran.
Oleh sebab itu, materi ini perlu diberikan terlebih dahulu sebagai dasar
pijakannya. Apabila semua dongkari ini sudah dapat dikuasai dengan baik, maka
untuk mempelajari lagu-lagu selanjutnya tidak akan sukar. Sekurang-kurangnya,
dongkari dalam vokal tembang Sunda Cianjuran terdiri dari 17 macam yaitu: riak,
reureueus, gibeg, kait, inghak, jekluk, rante/beulit, lapis, gedag, leot,
buntut, cacag, baledog, kedet, dorong, galasar, dan golosor. Untuk lebih
jelasnya, ketujuh belas dongkari tersebut adalah sebagai berikut.
2.1.1.1. Riak
Menurut Kamus Umum Basa Sunda, riak artinya
nimbulkeun cahaya nu siga ombak-ombakan (menimbulkan cahaya seperti gelombang).
Sedangkan menurut Bakang Abubakar, istilah riak sama dengan istilah ombak banyu
yang artinya gelombang air (Sarinah l994:121). Adapun teknik penyuaraan
dongkari riak yaitu mengeluarkan getaran suara pada nada yang tetap yang
menyerupai gelombang air. Getaran suara dikeluarkan tanpa tekanan, tetapi
secara halus tanpa terputus. Contoh: 5 artinya nada 5 (la) dibunyikan dengan
halus tanpa terputus menyerupai gelombang air. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada lagu Papatet baris pertama, yaitu:
5 . 5 . 5 5 . 5 54 5 . 5451 2
Pa- ja - jaran ka-ri nga- ran
2.1.1.2. Reureueus
Reureueus pada umumnya digunakan oleh para
penembang untuk menamakan semua jenis dongkari dalam tembang Sunda Cianjuran.
Namun demikian istilah reureueus yang digunakan Euis Komariah memiliki
pengertian yang berbeda. Reureueus adalah salah satu macam dongkari yang pada
prinsipnya sama dengan riak. Sedikit yang membedakannya yaitu teknik penyuaraan
pada dongkari riak tidak mendapat tekanan, sedangkan teknik penyuaraan reureueus
yaitu getaran suara yang dikeluarkan pada nada yang tetap mendapat tekanan.
Contoh: 5, dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lagu Papatet baris
kedua, contoh:
2 15 5 . 5554 3451 2 15 5 22 2 . 2 15
Pangra- ngo geus narik ko- lo - t
2.1.2.3. Gibeg
Gibeg menurut Kamus Umum Basa Sunda artinya
yaitu ngobahkeun awak ka gigir make tanaga sarta rikat (menggerakkan badan ke
samping dengan gerak cepat). Teknik penyuaraan dongkari gibeg yaitu
mengeluarkan suara pada nada yang tetap disertai tekanan, dan dilakukan dengan
gerak cepat seolah-olah digibegkeun. Sebagai contoh dapat dilihat pada frase
pembuka lagu wanda papantunan, sebagai berikut:
03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu - eung diajar lu- deu- ng
2.1.2.4. Kait
Kait artinya sama dengan nyangkol yaitu
menempel keras karena lilitan tali. Dalam istilah dongkari tembang Sunda
Cianjuran, istilah kait mengandung pengertian yaitu gabungan dua buah nada dari
nada tinggi ke nada rendah di mana nada pertama dongkari kait menempel/sama
dengan nada sebelumnya, kemudian diikuti oleh satu nada yang lebih rendah. Teknik
penyuaraannya yaitu bunyi terakhir dari suku kata yang akan diikuti oleh
dongkari kait, dibunyikan kembali sebagai jembatan untuk membunyikan suku kata
berikutnya. Sebagai contoh dapat dilihat pada frase pembuka lagu wanda
papantunan, yaitu:
03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu - eung diajar lu- deu- ng
2.1.1.5. Inghak
Istilah inghak diambil dari peristiwa
menangis yang diterapkan pada dongkari tembang Sunda Cianjuran. Teknik
penyuaraannya yaitu pada waktu membunyikan suku kata yang mengandung vokal
huruf hidup (a, i, u, e, o), udara sedikit dikeluarkan dengan diberi tekanan
sehingga menghasilkan suara yang bunyinya seperti /h/. Diusahakan posisi bibir
tidak bergerak saat mengeluarkan udara. Contoh:
03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu - eung diajar lu- deu- ng
2.1.1.6. Jekluk
Dongkari jekluk yaitu gabungan dua buah nada
dari nada rendah ke nada tinggi. Misalnya dari nada 1 ke 5, 4 ke 3. Sebelum
membunyikan dongkari jekluk, senantiasa diawali oleh nada yang lebih rendah.
Misalnya dari nada 1 ke nada 5, senantiasa diawali dengan nada 2. Dari nada 4 ke
nada 3, senantiasa diawali dengan nada 5. Teknik penyuaraan dongkari jekluk
harus menggunakan tenaga perut. Contoh, pada lagu Papatet, baris kedua.
02 15 5 . 5554 3451 2 15 5 22 2 . 2 15 .
Pangra- ngo geus narik ko- lo - t
2.2.1.7. Rante/beulit
Dongkari rante/beulit yaitu gabungan dua buah
nada atau lebih yang disuarakan dengan cara mengulang nada-nada tersebut
sehingga menghasilkan suara yang bila digambarkan menyerupai bentuk spiral atau
rante. Contoh dongkari rante/beulit ini bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang
yang dibawakan oleh A. Tjitjah pada baris kelima, sebagai beriku:
02 15 5 . 4545 4 51 . 2 2 15 5 2 2 2 321
Nya cada - s cada - s ha -re- ra- ng
2.1.1.8. Lapis
Dongkari lapis yaitu penyuaraan satu buah
nada yang mengikuti nada sebelumnya. dongkari lapis ini seolah-olah mengulang
lagi nada yang sudah dibunyikan oleh dongkari lain. Sebagai contoh bisa dilihat
pada lagu Mupu Kembang baris kedua yang dibawakan oleh Euis Komariah, sebagai
berikut:
03- 2 2 2 . 1 2 2 2 21 2 . 2 15 0
Angkat ba- ri re- rendenga - n
2.1.1.9. Gedag
Dongkari gedag yaitu menyuarakan satu nada
yang tetap dengan mendapat tekanan. Nada tersebut seolah-olah disuarakan dua
kali (diulang). Penempatan dongkari gedag senantiasa di awal kata. Sebagai contoh
bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang baris pertama yang dibawakan oleh Euis
Komariah, yaitu
02 2 . 2 2 . 2 2 2 . 12 0
Payung hiji ku dua - an
2.1.1.10. Leot
Dongkari leot yaitu gabungan dua buah nada,
dari nada tinggi ke nada rendah misalnya dari nada 5 (la) ke nada 1 (da), nada
2 (mi) ke 3 (na), dan seterusnya. Contoh pada lagu Mupu Kembang baris pertama
yaitu:
02 2 . 2 2 . 2 2 2 . 1 2 .
Payung hiji ku dua - an
2.1.1.11. Buntut
Dongkari buntut pada prinsipnya sama dengan
dongkari lapis. Perbedaannya terletak pada penempatannya. Kalau dongkari lapis
diletakkan di tengah kata dan senantiasa diikuti lagi dengan dongkari lainnya,
sedangkan buntut ditempatkan di akhir kata atau kalimat lagu (frase lagu) dan
diikuti oleh satu nada yang lebih tinggi. Contoh bisa dilihat pada lagu Mupu
Kembang baris keempat dan kelima, sebagai berikut:
03- 2 2 . . 2 2 2 1212 2 1 . 5 5 . 54
Nya keusik - keusik ba-re - n-ti - k
02 15 5 . 5554 3451 2 2 15 5 2 2 2 . 21
Nya ca-da - s cada - s hare - ra - ng
2.1.1.12. Cacag
Dongkari cacag yaitu penyuaraan satu buah
nada dengan teknik memberikan tekanan pada nada tersebut secara berulang-ulang
dan tidak terputus-putus. Contoh dongkari cacag bisa dilihat pada lagu Jemplang
Panganten baris ketujuh.
01 1 222 15 . 3 3 3 3454 23 3454
Kieu ka-ja-di-an- na - na
2.1.1.13. Baledog
Dongkari baledog yaitu gabungan dua buah nada
yang disuarakan tanpa tekanan. Dongkari ini senantiasa ditempatkan mengikuti
dongkari lainnya seperti gibeg dan gedag. Sebagai contoh bisa didengar pada
lagu Mupu Kembang baris kedua, dan Randegan baris kedua yang dibawakan oleh
Euis Komariah.
03- 2 2 2 1 2 2 2 212 . 2 15 0
Angkat ba- ri re- rendenga - n
0 3- 2 . 2 1 2 12 . 2 15 0 03-3- 2 3-2 . 2 1
Me -la-------k bako di ba - si - sir
2.1.1.14. Kedet
Dongkari kedet senantiasa ditempatkan di
akhir kalimat lagu yang berfungsi untuk madakeun (mengakhiri) lagu. Dongkari
ini biasa digunakan dalam lagu wanda jejemplangan. Sebagai contoh bisa dilihat
pada frase lagu pembuka wanda jejemplangan berikut ini:
04 4 .4 4 4 34543454 32 . 2 23 . 5
birit leuwi peu - peunta - san
2.1.1.15. Dorong
Dongkari dorong pada dasarnya merupakan
dinamika dari suara yang tidak mendapat tekanan menuju nada berikutnya dengan
mendapat tekanan. Biasanya dongkari dorong selalu diikuti oleh reureueus. Untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada lagu Jemplang Panganten baris kedua sebagai
berikut:
2 2 2 . 1 2222 15 0
Linta ----------------- ng salira anjeunna
Atau bisa juga dilihat pada lagu Jemplang Cidadap
baris kelima sebagai berikut:
02 2 2 2 . 1 2222 15 0
Dirungsi -----------------ng
2.1.1.16. Galasar
Dongkari galasar yaitu gabungan dua atau tiga
buah nada yang disuarakan seperti diayun, tanpa terputus, dan mendapat tekanan.
Sebagai contoh dapat dilihat pada lagu Jemplang Cidadap baris pertama berikut
ini:
4 3 3 3 3333 32 0 3 3454 23 3 3454 4
Alap-ala----------p nyorang tuna
Contoh lain dapat dilihat pada lagu-lagu
wanda papantunan, misalnya pada frase pembuka lagu-lagu wanda papantunan
berikut ini:
03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu --------------------ng diajar lu- deu- ng
2.1.1.17. Golosor
Dongkari golosor yaitu gabungan beberapa nada
dengan teknik penyuaraan tanpa tekanan. Wilayah nadanya yaitu dari nada tinggi
menuju ke nada rendah. Sebagai contoh bisa dilihat pada lagu Rajamantri baris
keenam, yaitu:
3 .2 34545 5
Hanja------kal saumur-umur
Contoh tulisan Lagu Tembang :
2.1.2. Beluk
Karawitan sekar beluk ini sudah langka
sekali. Beluk lebih dikenal pada upacara selamatan 40 hari bagi bayi yang baru
dilahirkan. Beluk sangat erat dengan pergelaran nembang wawacan. Memang pada
dasarnya kesenian beluk hanya menembangkan cerita dalam wawacan yang tersusun
ceritanya dalam bentuk puisi terutama pupuh. Wawacan adalah cerita yang disusun
menggunakan pupuh dengan maksud untuk dinyanyikan atau didangdingkeun.
Teknik penyajian beluk dibantu oleh juru ilo.
Juru ilo dalah orang yang membacakan cerita dalam bentuk prosa (membaca biasa)
yang ditujukan kepada penembang beluk untuk bahan kata-kata yang akan
dinyanyikannya. Secara spontan dan penuh variasi, juru beluk menyanyikan
kata-kata itu. Frekwensi nada yang digunakan adalah nada yang tinggi sehiingga
semakin mahir bermain lagu dalam nada-nada yang tinggii makin tinggilah
kemampuan ki juru beluk itu.
Teknik bersuara banyak mempergunakan nasal
hidung (sengau). Kata-kata yang dinyanyikan sebenarnya kurang begitu jelas
terucapkan karena yang lebih penting bagi pendengar adalah teknik-teknik
bernyanyinya itu sendiri. Kalau mereka ingin tahu tentang kata-katanya, sebelum
dinyanyikan telah disebutkan secara jelas oleh juru ilo.
Beluk sudah dianggap sebagai kesenian buhun
(kolot, tua, lama). Penggunaan sekar irama merdekanya memberikan cirri yang
tersendiri dari bentuk kesenian rakyat sebab kebanyakan lagu-lagu rakyat
Pasundan banyak mempergunakan irama tandak (terikat)
Kalau dilihat dari penyajiannya, dimana ada
unsur cerita yang dinyanyikan, maka mungkin sekali dasar-dasar “gending
karesmen” di dalam karawitan Sunda banyak berpijak dari perkembangan beluk
dengan nembang wawacannya.
2.1.3. Kakawen
kakawen lebih dikenal sebagai nyanyian ki
dalang pada waktu pergelaran wayang. Isi kakawen antara lain banyak mengisahkan
tentang pergantian babak cerita, karakter tokoh wayang, kemarahan-kemarahan,
kedatangan tamu dan kekuatan tokoh wayang dalam mengunggulkan dirinya, misalnya
pada ajimat-ajimatnya atau kekuatan lainnya. Pada dasarnya kakawen banyak
mempergunakan irama bebas merdeka. Hanya pada bagian-bagian tertentu sajalah
terdapat bentuk yang tandak. Inipun masih tidak utuh sebab perpaduan panjang
pendeknya lagu masih tergantung kepada ki juru dalang itu sendiri.
Pengaruh kakawen masuk pula secara utuh pada
Tembang Sunda lagam Cianjuran. Hanya namanya sudah bukan kakawen lagi melainkan
dengan nama sebrakan. Sebrakan ini dinyanyikan setelah lagu dalam laras pelog
dan sorog/madenda telah selesai atau disajikan secara khusus.
Motif-motif sekar irama merdeka pada
pergelaran wayang digunakan pula oleh beberapa tokoh wayang tertentu yang dalam
bicaranya dibawakan dengan lagu, seperti untuk tokoh Semar, Rahwana, Dursasana
(patet yang digunakan patet Nem), Sangkuni, Togog, Narada (patet yang digunakan
patet Manyura). Hal seperti ini disebut antawacana berlagu.
Dalam penyajiannya, kakawen dapat
dibeda-bedakan menjadi
a. Murwa
Adalah sekaran permulaan yang dibawakan
dalang dengan rumpaka/bahasa Kawi atau pujangga. (Kakawi-an menjadi Kakawen)
Pada prakteknya Murwa terbagi atas
(1) Murwa Umum
Murwa yang dapat dipergunakan untuk
bermacam-macam adegan/jejeran, seperti:
Dene utamaning nata
Berbudi bawa laksana
Lire berbudi mangkana
Lela legawa ing dria
Agung denya paring dana
Anggeganjar saban dina
Lire kang bawa laksana
Anatepi pangandika
(2) Murwa Khusus
Murwa yang hanya digunakan khusus untuk suatu
adegan/jejeran. Contohnya:
Lengleng ramya nikang, sasangka kum,enyar
mangrenge rumning puri
Mangkin tanpa siring, haleb nikang umah, mas
lwir nurub ing langit.
Tekwan sarwa manik, tawingnya sinawung sasat
sekar sinuji
Ungwan Banowati ywuna amren lalangen nwang
nata Duryudana
b. Nyandra
Prolog dalang yang menggambarkan
situasi/keadaan sifat, watak, tata hidup dan kehidupan raja dan masyarakatnya
dengan segala yang digarapnya dan sebagainya, contoh:
Sri Nalendra ajujuluk ………(.nama raja yang
bersangkutan dari suatu Negara)
Mila kinarya bubukaning carita
Jalaran nagri panjang punjung
Pasirwukir loh jinawi
Gemah ripah kerta raharja
c. Renggan
Sekaran dengan rumpaka yang bertemakan
gambaran suatu keadaan yang sedang dihadapi agar lebih jelas dan lebih indah
didengar, contoh:
Kayu Agung babar wite
Samia rembel gogonge samia rogol yan
pangrange
Sekar mekar ing galihe pandele si pandan arum
d. Sendon
Sekaran yang mempergunakan rumpaka untuk
menggambarkan adegan sedih/kesedihan, contoh:
Rebeng rebeng cinanda layan kaherin
Wis pinandak perlambange
Perlambang simungkumi
2.2. Sekar Tandak
Sekar tandak ialah nyanyian yang terikat oleh
ketentuan-ketentuan ketukan dan matra (wiletan, gatra). Dari ikatan ketukan dan
matra-matra banyak berdampingan dengan irama lagu yang dipergunakan. Peraturan-peraturan
itu sudah merupakan kaidah tersendiri dari bentuk paduan tandak di antara sekar
dan gending. Adapun lagu-lagu dalam ragam sekar tandak dapat kita ketahui
sebagai berikut.
(1) Sindenan
Kata Sindenan lebih dikenal pada pergelaran
wayang dan kiliningan. Disebut sindenan karena yang membawakannya biasa disebut
sinden (waranggana, penyanyi wanita). Lagu-lagu yang dibawakan banyak
berpangkal pada bentuk klasik dan tradisional. Walaupun demikian, kreasi-kreasi
baru banyak pula dibawakan walaupun dalam beberapa hal telah sedikit berubah
warnanya. Perubahan itu sebenarnya banyak dipengaruhi oleh teknik warna suara
yang telah khas pada tiap pesinden. Kebanyakan lagu-lagu sinden adalah lagu
anggana. Kalau ada beberapa yang bersifat rampak biasanya bersifat kreasi saja.
Dalam beberapa penampilan tertentu sindenan mempunyai lagam daerah tersendiri.
Lagam itu lebih cenderung disebut pula sebagai gaya (style). Ada dua bagian
besar gaya dalam kepesindenan, yaitu: gaya Priangan dan gaya Kaleran.
Yang dimaksud dengan gaya Priangan adalah
yang melingkupi daerah Bandung dan sekitarnya, termasuk Priangan Timur. Daerah
kaleran antara lain daerah-daerah pesisir utara, seperti Cirebon, Subang dan
Karawang.
Salah satu perbedaan yang paling jelas bila
kita bandingkan dengan daerah Priangan adalah dalam senggol, dialek dan
laras-larasnya. Mengenai hal laras, sindenan gaya Cirebon lebih banyak
mempergunakan lagu laras pelog surupan sorog dengan patet Manyuro. Perbedaannya
dengan gaya Karawangan banyak terletak pada dialek bahasa dan pada
senggol-senggol yang lebih sederhana. Perbedaan dalam senggol terkenal dengan
istilah buntut dan buntet. Priangan pada akhir lagu selalu panjang (buntut),
sedangkan rata-rata pada senggol kaleran (Subang, Karawang) lebih pendek (buntet).
Tetapi karena adanya pembauran, maka sekarang sudah sangat sukar dibedakannya
karena baik Cirebon, Karawang maupun Subang sudah melihat Bandung sebagai
barometernya. Secara langsung mereka kehilangan kekhasannya. Sebaliknya gaya
Prianganpun banyak pula berakibat pada gaya kaleran, terutama Karawang yang
lebih banyak diwarnai dengan iringan tepak jaipongan.
Pada dasarnya lagu-lagu sinden banyak
mempergunakan laras salendro. Lagu-lagu ageng yang pertama mereka pelajari
kebanyakan lagu lagu ageng yang berlaras salendro. Mungkin hal ini disebabkan
oleh beberapa pendapat di kalangan para nayaga yang menyebutkan bahwa salendro
merupakan “rajana laras”
Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan ialah
lagu-lagu sindenan selalu diiringi dengan gamelan salendro. Walaupun dalam
beberapa hal dibawakan lagu yang tidak berlaras salendro, pirigan (iringan)
tetap menggunakan laras salendro dengan mengambil jalur tumbuk. Tumbuk ialah
nada-nada yang sama dari laras yang berbeda. Nama-nama lagu sindenan antara
lain : Macan Ucul, Senggot, Kulu Kulu Bem, Tablo, Gawil, Kawitan, Badaya,
Papalayon Ciamis dan lain sebagainya
Contoh tulisan lagu sindenan:
(2) Kawih
Salah satu lagam dari khazanah seni suara
Sunda. Pengertian kawih pada mulanya sama dengan sindenan, tetapi perkembangan
memecah kedudukan yang berbeda antara kawih dan sindenan. Perbedaan itu bukan
saja terletak pada pergelaran dan teknik-teknik bernyanyi saja, melainkan juga
lingkunganna.
Menurut pengamatan yang bersumber pada buku
Siksa Kandanf Karesian tahun 1518, masyarakat Sunda telah mengenal kawih dahulu
sebelum tembang (pupuh) masuk pada zaman Mataram (abad XVI). Cuplikan dari buku
itu mengatakan bahwa telah dikenal bermacam-macam kawih, anatara lain:
Ø Kawih Tangtung
Ø Kawih Panjang
Ø Kawih Lalangunan
Ø Kawih Bongbongkaso
Ø Kawih Parerane
Ø Kawih Sisindiran
Ø Kawih Bwatuha
Ø Kawih Babatranan
Ø Kawih Porod Eurih
Ø Kawih Sasambatan
Ø Kawih Igel-igelan
Ahli seni suara biasa disebut paraguna.
Jelaslah bahwa lagam kawih jauh telah lama hidup dalam khazanah karawitan
Sunda. Masalahnya sekarang bahwa hal yang tertera di atas hanya merupakan nama
saja karena sudah sangat jarang sekali orang-orang yang tahu tentang lagu-lagu
kawih yang disebutkan tadi.
Lagu-lagu kawih lebih banyak berorientasi
pada lagu-lagu perkembangan (kreasi baru), sedangkan pada lagu sindenan adalah
lagu-lagu klasik dan tradisional. Memang yang paling menonjol sekarang pada
kawih ialah segi perkembangan lagu-lagu barunya. Lagu-lagu itu lebih banyak
bergerak pada lingkungan pendidikan dan kaum remaja tertentu. Hal-hal yang
berhubungan dengan pendidikan, dimana lagu-lagu kawih banyak diciptakan oleh
para juru sanggi (komponis) secara khusus untuk kebutuhan program pengajaran.
Tokoh-tokoh seperti Rd. Machyar Anggakusumadinata, Mang Koko, OK Jaman, Ujo
Ngalagena, Nano. S dan lain-lain membuat buu-buku pelajaran seni suar dalam
bentuk kawih.
Kawih berkembang bukan pada bentuk anggana
saja, melainkan mulai berkembang pula pada bentuk-bentuk lain, yaitu dengan
bentuk-bentuk paduan suara.
Kawih mempunyai “sejak” yang tersendiri. Hal
ini bisa kita perhatikan dari pergelarannya, iringannya dan teknik bernyanyi
termasuk didalamnya pemanis-pemanis. Laras-laras kawih dalam lagu-lagu remaja
kebanyakan berlaras pelog dan madenda. Laras salendro terasa sangat jarang
sekali. Hal ini banyak bersumber pada kreativitas para juru sangginya yang
memang sangat jarang menciptakan lagu-lagu dalam laras salendro. Lagam kawih
yang terdapat pada tembang adalah pada lagu panambih (ekstra). Lagu panambih
adalah lagu tambahan setelah sekar irama merdeka, irama yang dipergunakan
tandak. Perbedaan yang menyolok hanya soal surupan saja, dimana kalau tembang
surupan rendah (da = G), sedangkan kalau lagam kawih lebih tinggi surupannya
(da = A = 440 Hz).
(3) Ketuk Tilu
Lagu-lagunya kebanyakan berirama tandak.
Cirri khas dari lagu ketuk tilu adalah dalam iringannya serta melodi lagu yang
melengking tinggi dengan warna suar penyanyi wanita yang lincah segar. Keunikan
dari penampilan lagu ketuk tilu banyak diwarnai pula dengan kehadiran senggak.
Ketuk tilu tanpa senggak rasanya sepi sekali. Keakraban ini telah menjalin
suatu warna yang khas yang memberikan warna kemeriahan dan suasana pedesaan
(lembur). Senggak adalah suara manusia yang tidak beraturan untuk meramaikan
suasana.
Laras-laras yang dipergunakan dalam lagu
ketuk tilu kebanyakan laras salendro. Sangat sedikit sekali yang
mempergunakanlaras pelog atau madenda. Laras salendro dipergunakan pada ketuk
tilu, semarak membawa warna pedesaan, dimana lagu-lagu rakyat banyak dihias
dengan warna-warna salendro. Lagu-lagu ketuk tilu buhun sampai kini tetap
lestari, tetapi dalam perkembangan akhir-akhir ini banyak lagu-lagu ketuk tilu
yang diubah larasnya ke dalam laras degung dan sekaligus diiringi gamelan
degung. Tentu saja dalam penjiwaannya kurang sesuai karena lingkungan degung
dan ketuk tilu jauh berbeda. Tetapi karena beberapa hal, antara lain rumpaka,
teknik menyanyikan, surupan sudah sedemikian rupa diolah ke dalam bentuk kawih,
maka tidak jarang orang menganggap seolah-olah lagu itu merupakan ciptaan baru.
Nama-nama lagu ketuk tilu yang populer dan terkenal sampai sekarang, antara
lain : Polostomo, Geboy, Gaya, Cikeruhan, Bardin.
Penyanyi ketuk tilu mempunyai keistimewaan
tersendiri, yaitu mereka harus bisa bernyanyi sambil menari (panggilannya
disebut; Ronggeng). Isi lagu-lagu ketuk tilu banyak mengetengahkan
sindiran-sindiran cinta atau pikatan supaya “seseorang” mmberi imbalan materi.
Dahulu penyanyi ketuk tilu biasa disebut Ronggeng/Doger. Istilah ini kini
jarang dipakai, mungkin karena sebutan itu sendiri sedikit berbau/menyerempet
tata susila moral tertentu
Contoh tulisan lagu ketuk tilu
(4) Lagu Indria
Biasa pula disebut sekar dolanan atau lagu
dolanan untuk anak-anak. Secara tradisi lagu-lagu anak banyak terungkap dalam
lagu-lagu kaulinan urang lembur. Lagunya dinamis dan sangat akrab dengan gerak.
Bahkan dari keakraban itu sendiri berkembang menjadi permainan anak-anak. Pada
kesenggangan sore hari, mereka berkumpul, bernyanyi dan bermain. Lagu-lagu yang
terkenal seperti Cing cangkeling, Perepet Jengkol, Sasalimpetan, Slep Dur dan
lainnya, kebanyakan berlaras Salendro.
Pada perkembangan selanjutnya, lagu anak-anak
banyak yang merupakan sanggian-sanggian baru. Laras-laras yang dipergunakan
sudah tidak lagi dominant oleh laras salendro saja, tetapi pelog, madenda dan
degungpun masuk didalamnya. Bahkan dari jumlah buku-buku nyanyian yang pernah
diterbitkan, kebanyakan berupa lagu anak-anak, seperti: Kawih Murangkalih, Sari
Arum sanggian Rd. Machyar Anggakusumadinata, Resep Mamaos, Taman cangkurileung,
Seni suara Sunda, Sekar Mayang, Bincarung sanggian mang Koko, Sekar Ligar
kumpulan uUo Ngalagena. Tercatat khusus untuk kegiatan lagu kawih anak-anak,
Mang Koko membuat Yayasan Cangkurileung yang anggota-anggotanya terdiri dari
murid-murid sekolah dasar dan lanjutan di seluruh Jawa Barat, setelah mang Koko
meninggal dunia kegiatan di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan menjadi
berkurang.
Beberapa cirri tertentu dari lagu anak-anak,
antara lain:
A. Melodi dan Ritme yang sederhana
B. Jangkauan interval suara dan tinggi rendah
nada yang terbatas
C. Tema lagu yang banyak berorientasi pada
kehidupan anak-anak, seperti permainan, kebersihan, sopan santun dan lain-lain.
Khusus untuk lagu-lagu permainan Mang Koko
dan MO Koesman mengolah secara khusus dalam buku Taman Bincarung dengan laras
yang dipergunakan salendro. Dalam buku ini selain mereka belajar lagu juga
diajarkan teknik permainan yang bersumber dari tema lagu. Istilah yang dipakai
disebut Gerak Indriya Bincarung.
Selain bentuk-bentuk kawih dalam lagu
anak-anak, juga lagu pupuh yang berjumlah 17, diajarkan sebagai dasar-dasar
tembang Sunda. Kebanyakan pupuh-pupuh itu dalam bentuk rancagan, artinya tidak
banyak diberi variasi seperti halnya lagu-lagu tembang yang lain.
Contoh tulisan lagu Indriya:(5) Lagu-Lagu
Rakyat
Lagu yang telah merakyat dan populer di
masyarakat. Masalahnya sekarang akan batas kurun waktu. Umpamanya berapa tahun
lagu itu bisa digolongkan sebagai lagu rakyat. Memang diketahui bahwa
kebanyakan lagu-lagu rakyat anonim dan telah lama hidupnya. Ada pula yang
diketahui pengarangnya, diketahui populernya lagu itu dan kini telah menjelma
menjadi sebutan lagu rakyat. Dengan demikian, kurun waktu untuk pengertian
lagu-lagu rakyat bukan merupakan suatu jaminan sebab banyak lagu-lagu yang telah
lama justru hilang dan tidak diketahui oleh umum.
Kebanyakan lagu-lagu rakyat hidup di kalangan
lagu anak-anak. Lagu ini seiring dengan gerak-gerak permainan. Lagu-lagu rakyat
biasanya lebih sederhana, tidak berliku-liku dalam melodinya. Sifatnya spontan.
Gambaran lagu kalau dilihat dari tema-temany adalah permainan, kelakuan
seseorang, perjuangan dan lain-lain. Dalam beberapa hal sering didapati bahwa
kata-katanya itu tidak diketahui/dimengerti. Lagu-lagu rakyat Sunda banyak yang
tidak
diketahui maksudnya. Bahkan generasi sekarang
hanya mengenal lagunya saja, tanpa mengetahui isi dari kata-katanya.
Di kota-kota besar lagu-lagu rakyat itu sudah
sangat jarang diketahui oleh anak-anak. Mungkin dalam beberapa hal mereka
merasa asing. Kalaupun ada, mereka mendengar dari hasil rekaman yang telah
banyak diolah ke dalam tangga nada diatonis. Apa yang sering dikumandangkan
oleh remaja-remaja sekarang tentang lagu rakyat pengolahannya sudah diatonis.
Dari penampilan mereka terkadang dirasakan menjadi sangat asing, karena
interpretasi mereka terhadap lagu rakyatnya sudah sangat lain sekali. Kelainan
mereka itu mungkin karena dua hal. Pertama karena tangga nadanya sudah
diatonis, kedua karena mereka hanya tahu dari mulut ke mulut tanpa mempelajari
secara khusus dengan pengertiannya sekaligus.
Lagu-lagu rakyat yang masih populer hingga
sekarang antara lain: Cing cangkeling, Ayang-ayang gung, Pacublek-cublek uang,
Ambil-ambilan, Sorban Palid, Es Lilin, Warung Pojok dan lain sebagainya..
Kebanyakan dari lagu-lagu rakyat yang erat
hubungannya dengan gerak-gerak dan permainan, mempergunakan laras salendro,
sedangkan beberapa lagu yang sebenarnya tidak erat dengan permainan
mempergunakan laras pelog atau madenda.
Lagu-lagu rakyat akan terus berkembang selama
para kreatornya terus berkreasi. Hanya mungkin dari sekian jumlah ciptaannya
paling-paling hanya beberapa buah saja yang akan sangat populer dan merakyat di
masyarakat. Contohnya lagu Es Lilin dan Warung Pojok yang bisa menembus untuk
diakui sebagai lagu rakyat (Lagu-lagu ini diketahui penciptanya).
(6) Lagu Pupujian
Lagu berbentuk syair berisi tentang
pengajaran agama Islam, nasihat, puji kepada Allah, salawat untuk serta do’a,
Lagu pupujian tanpa menggunakan iringan sering dibawakan di masjid atau
madrasah, biasa sebelum dilaksanakan shalat, ceramah dan kegiatan lainnya. Saat
ini lagu-lagu pupujian berbahasa Sunda (Tagoni, Qasidah) telah berkembang pesat
dengan bentuk dan nama yang baru seperti “Nasyid”, penyajiaanya tidak hanya di
masjid atau madrasah, tetapi telah pula ditempat-tempat keramaian, termasuk
dalam perayaan keagamaan, khitanan, pernikahan dan lain sebagainya. Mang Koko
dengan Rumpaka dari RAF banyak membuat lagu-lagu Pupujian ini, seperti lagu
Hamdan, Ajilu, Shalawat Bani Hasim, dsbnya.
Penyajian Sekar
Berdasarkan kepada penyajiannya, sekar dapat
dibagi menjadi: Anggana Sekar, Rampak Sekar, Layeutan Suara, Sekar Catur, Drama
Suara.
3.1. Anggana Sekar
Sekar yang dibawakan oleh satu orang.
Penyanyi sekar secara mandiri ini bermacam-macam namanya; dalam Tembang disebut
Juru Mamaos atau Penembang, dalam kawih biasa disebut juga Juru Sekar/Juru
Kawih, dalam kiliningan biasa disebut Sinden, dan pada Ketuk Tilu Buhun disebut
Ronggeng. Nama-nama itu adalah nama-nama yang mandiri dan biasanya ditujukan
kepada penyanyi wanita. Penyanyi pria lebih dikenal dengan sebutan Wira Swara.
Lagu-lagu klasik kebanyakan bersifat anggana,
jarang sekali dibawakan secara bersama, kecuali telah mendapat sentuhan
kreatifitas untuk disajikan menjadi bentuk lain. Keistimewaan lagu-lagu anggana
adalah kebebasan dalam berimprovisasi, terutama dalam pengisian
mamanis/ornament/dongkari. Makin tinggi teknik-teknik dalam pengolahan sekar,
maka makin semaraklah lagu itu. Tentu saja dalam beberapa hal harus
diperhatikan adu manisnya agar dalam mengolah lagu itu tidak menjadi
berlebihan.
3.2. Rampak Sekar
Nyanyian yang sama dalam satu tahap suara
dibawakan bersama-sama. Rampak Sekar sangat populer pada lagu-lagu Kawih.
Lingkungan yang banyak mengetengahkan lagu-lagu rampak sekar adalah para
pelajar. Hal ini sebenarnya berlanjut dari system klasikal dalam pelajaran
bernyanyi di kelas. Sebelum mengenal istilah rampak sekar (Rampak=Bersama,
Sekar=Nyanyian) terlebih dahulu dikenal istilah Panembrama. Pada dasarnya
rampak
sekar maupun panembrama sama saja. Lagu yang
dibawakan satu tahap suara. Perbedaan hanya terletak pada pemilihan
lagu-lagunya. Dalam Panembrama jiwa lagunya kebanyakan mengambil lagu-lagu yang
mempunyai gerakan anca, isi rumpakanya menggambarkan kegembiraan, ucapan
selamat kepada para tamu dan maksud dari diselenggarakan pergelaran. Lagunya
antara lain Kadewan.
Dalam rampak sekar tema lagu dan sanggiannya
lebih berpariasi, bisa bernafaskan kepahlawanan, cinta tanah air, keindahan
alam dan lain sebagainya. Istilah Karatagan (Mars) sering digunakan mengawali
judul lagu untuk menggambarkan tema kepahlawanan.
Rampak Sekar kebanyakan diiringi dengan waditra Kacapi, apabila menggunakan iringan gamelan maka biasa disebut Gerongan.
Contoh tulisan lagu Rampak Sekar
3.3. Layeutan Swara
Karena pada mulanya rampak sekar itu
merupakan lagu yang dibawakan dalam satu tahap suara saja, maka perkembangan
kreasi baru terasa menuntut lain tentang pengertian ini. Apa yang dikatakan
rampak sekar sekarang sudah tidak lagi mengetengahkan satu tahap suara saja,
tetapi sudah berkembang menjadi dua tahap, tiga tahap bahkan empat tahap suara.
Untuk bentuk penyajian lagu yang demikian maka lahirlah istilah Layeutan Suara.
Istilah ini banyak dipopulerkan oleh kreasi-kreasi Mang Koko. Layeutan Suara
identik dengan istilah Paduan Suara dalam musik.
Jumlah peserta layeutan suara dapat berjumlah
dari 10 orang sampai 30 orang. Jumlah itu tidak tetap, bisa dikembangkan
menurut kebutuhannya. Pada perkembangan sekarang, lagu-lagu Sunda sudah bisa
diketengahkan dalam suatu aubade, dimana jumlah penyanyinya bisa mencapai
ratusan bahkan ribuan. Untuk istilah layeutan suara, Pak Machyar
Anggakusumadinata menyebutnya dengan istilah Pra Lagam (banyak lagamnya).
Contoh:
3.4. Sekar Catur
Lagu yang dibawakan secara berdialog disebut
Sekar Catur (Sekar=nyanyian, Catur=ceritera, obrolan). Bentuk seperti ini
sangat banyak sekali. Pada lagam sindenan, lagam kawih, lagu sekar catur ini
sangat dikenal sekali. Begitu pula pada bentuk jenaka Sunda. Para kanca
Indihiang pimpinan Mang Koko pada tahun empat puluhan menjadi pelopor dalam
pengembangan bentuk lagu-lagu sekar catur.
Bentuk lagu Sekar Catur ini biasanya
mempunyai tema masalah. Masalahnya dapat diambil dari kehidupan sehari-hari,
problem suami istri, percintaan atau kritikan-kritikan terhadap kepincangan
yang ada di masyarakat. Ungkapan lagu yang dinyanyikan dalam tekniknya
mempergunakan jalur Sekar Biantara, artinya nyanyian yang dinyanyikan dalam
lagam bicara, jadi fungsi pemanis-pemanis lagu tidak terlalu menonjol karena
beberapa hal kejelasan kata-kata dalam lagu sangat penting sekali.
Contoh tulisan lagu Sekar Catur:
3.5. Drama Suara
Ceritera yang dibawakan dengan media suara
sebagai penghantarnya. Drama Suara ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan
sebutan Gending Karesmen. Berbeda dengan bentuk lagu sekar catur, maka dalam
bentuk drama swara sekar atau vocal secara langsung mendominasi ungkapan yang
akan diketengahkan kepada penontonnya.
Dalam drama suara, sekar mempergunakan
berbagai laras. Transposisi dan modulasi sangat kaya sekali dalam bentuk ini.
Juru Sekar dituntut kemampuan yang lebih sebagai pemain drama suara. Selain
mempunyai suara yang baik, dituntut pula kemampuan “pemeranan” (gerak, acting,
menari, menghapal naskah, dan sebagainya).
Semua bentuk sekar dapat diketengahkan dalam bentuk
drama suara, baik tembang, kawih, ketuk tilu maupun sindenan. Tetapi ada pula
drama suara yang hanya mengetengahkan salah satu bentuk sekaran saja, misalnya
drama suara dalam media tembang. Namun ada beberapa kekurangan yang harus
diperhatikan apabila drama suara hanya mengambil bentuk tembang saja yaitu:
(1) Lagam dialog yang terlalu mementingkan
mamanis, sehingga berakibat kurang terarah pada tema ceritra atau ungkapan
dialog itu sendiri untuk diketahui maksudnya.
(2) Takaran jiwa tembang yang telah mengendap
secara khusus. Dalam hal ini sering terjadi pemerkosaan terhadap jiwa lagu dari
tembang itu sendiri karena kebutuhan dialog yang diungkapkan.
(3) Surupan yang terlalu rendah dan motif
lagu yang monoton kurang memberi suasana terhadap jalur ceritera yang
diketengahkan. Hal ini akan terasa pada nafas-nafas kemarahan yang terkadang
kurang terjangkau oleh tembang.
Drama suara yang baik sebenarnya cenderung
untuk disanggi secara khusus. Apabila akan menambahkan beberapa lagu tradisi
atau bentuk sekar lainnya, alangkah baiknya apabila jiwa lagu itu disesuaikan
dengan kata-katanya. Drama suara merupakan cirri khas dari karawitan daerah
Sunda (Jawa Barat)
Karawitan
Sekar Gending
Karawitan Sekar Gending adalah salah satu
bentuk kesenian yang dalam penyajiannya terdapat unsur gabungan antara
karawitan sekar dan gending
Pengertian dari karawitan itu sendiri secara
khusus dapat diartikan sebagai Seni Musik Tradisional yang terdapat di seluruh
wilayah etnik Indonesia.
Penyebaran seni karawitan terdapa di Pulau Jawa, Sumatra, Madura dan Bali. Karawitan memainkan alat musik bernama gamelan, sebagai
contoh Gamelan
Pelog/Salendro, Gamelan
Cirebon, Gamelan
Degung dan Gamelan
Cianjuran (untuk bentuk sajian
ensemble/kelompok). Dalam prakteknya, karawitan biasa digunakan untuk
mengiringi tarian dan nyanyian, tapi tidak tertutup kemungkinan untuk
mengadakan pementasan musik saja.
- Gamelan Banjar Tipe Keraton
- Gamelan Banjar Tipe Rakyatan
Lagu Daerah
Lagu daerah Banjar yang terkenal
misalnya :
Seni Rupa Dwimatra
Seni
Anyaman
Seni anyaman dengan bahan rotan, bambu dan
purun sangat artistik. Anyaman rotan berupa tas dan kopiah.
Seni
Lukisan Kaca
Seni lukisan kaca berkembang pada tahun lima
puluhan, hasilnya berupa lukisan buroq, Adam dan Hawa dengan buah kholdi,
kaligrafi masjid dan sebagainya. Ragam hiasnya sangat banyak diterapkan pada
perabot berupa tumpal, sawstika, geometris, flora dan fauna.
Seni
Tatah/Ukir
Motif ukiran
juga diterapkan pada sasanggan yang terbuat dari kuningan.
Motif
jambangan bunga dan tali bapilin dalam seni tatah ukir Banjar
Seni ukir terdiri atas tatah surut (dangkal)
dan tatah babuku (utuh). Seni ukir diterapkan pada kayu dan kuningan. Ukiran
kayu diterapkan pada alat-alat rumah tangga, bagian-bagian rumah dan masjid,
bagian-bagian perahu dan bagian-bagian cungkup makam. Ukiran kuningan
diterapkan benda-benda kuningan seperti cerana, abun, pakucuran, lisnar,
perapian, cerek, sasanggan, meriam kecil dan sebagainya. Motif ukiran misalnya Pohon
Hayat, pilin ganda, swastika, tumpal,
kawung, geometris, bintang, flora binatang, kaligrafi, motif Arabes dan Turki.
Pencak Silat Kuntau Banjar adalah ilmu
beladiri yang berkembang di Tanah Banjar dan
daerah perantaun suku kantut bau
Seni Rupa Trimatra
(Rumah Adat)
Rumah adat Banjar ada beberapa jenis, tetapi
yang paling menonjol adalah Rumah Bubungan Tinggi
yang merupakan tempat kediaman raja (keraton). Jenis rumah yang ditinggali oleh
seseorang menunjukkan status dan kedudukannya dalam masyarakat. Jenis-jenis
rumah Banjar:
Ciri-Ciri
Menurut Tim Depdikbud Kalsel,
ciri-cirinya :
2.
Tangga Naik
selalu ganjil
Konstruksi
Konstruksi rumah adat Banjar atau rumah
ba-anjung dibuat dengan bahan kayu. Faktor alam Kalimantan yang penuh
dengan hutan rimba telah memberikan bahan konstruksi yang melimpah kepada mereka, yaitu kayu.
Sesuai dengan bentuk serta konstruksi
bangunan rumah adat Banjar tersebut maka hanya kayulah yang merupakan bahan
yang tepat dan sesuai dengan konstruksi bangunannya.
Bagian Konstruksi
Pokok
Konstruksi pokok dari rumah adat Banjar dapat dibagi atas beberapa
bagian, yaitu :
1.
Tubuh bangunan
yang memanjang lurus ke depan, merupakan bangunan induk.
2.
Bangunan yang
menempel di kiri dan kanan disebut anjung.
5.
Bubungan atap
yang memanjang ke belakang disebut atap Hambin Awan).
Tubuh bangunan induk
yang memanjang terus ke depan dibagi atas ruangan-ruangan yang berjenjang
lantainya.
Ruangan
Ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya
ialah :
1.
Palatar (pendopo atau teras), ruangan depan yang merupakan ruangan
rumah yang pertama setelah menaiki tangga masuk. Ukuran luas ruangan ini adalah
7 x 3 meter. Palatar disebut juga Pamedangan.
2.
Panampik Kacil,
yaitu ruangan yang agak kecil setelah masuk melalui Lawang Hadapan
yaitu pintu depan. Permukaan lantainya lebih tinggi daripada lantai palatar.
Ambang lantai disini disebut Watun
Sambutan. Luas ruangan ini adalah 7 x
3 meter.
3.
Panampik Tangah
yaitu ruangan yang lebih luas dari panampik kacil. Lantainya juga lebih tinggi
dari ruang sebelumnya. Ambang lantai ini disebut Watun
Jajakan.
4.
Panampik Basar
atau Ambin Sayup, yaitu ruangan yang menghadapi dinding tengah
(Banjar: Tawing Halat). Permukaan lantainya lebih tinggi pula dari lantai
sebelumnya. Ambang Lantainya disebut WatunJajakan, sama dengan ambang lantai pada Panampik Tangah. Luas
ruangan 7 x 5 meter.
5.
Palidangan atau Ambin Dalam,
yaitu ruang bagian dalam rumah yang berbatas dengan panampik basar. Lantai
palidangan sama tinggi dengan lantai panampik basar (tapi ada juga beberapa
rumah yang membuat lantai panampik basar lebih rendah dari lantai palidangan).
Karena dasar kedua pintu yang ada di tawing halat tidak sampai ke dasar lantai
maka watun di sini disebut Watun
Langkahan. Luas ruang ini 7 x 7
meter. Di dalam ruangan Palidangan ini terdapat tiang-tiang besar yang
menyangga bubungan tinggi (jumlahnya 8 batang). Tiang-tiang ini disebut Tihang
Pitugur atau Tihang
Guru.
6.
Panampik Dalam
atau Panampik Bawah, yaitu ruangan dalam yang cukup luas dengan permukaan lantai
lebih rendah daripada lantai palidangan dan sama tingginya dengan
permukaan lantai panampik tangah. Ambang lantai ini disebut pula dengan Watun
Jajakan. Luas ruang 7 x 5 meter.
7.
Padapuran atau Padu, yaitu ruangan terakhir
bagian belakang bangunan. Permukaan lantainya lebih rendah pula dari panampik
bawah. Ambang lantainya disebut Watun
Juntaian. Kadang-kadang Watun
Juntaian itu cukup tinggi sehingga
sering di tempat itu diberi tangga untuk keperluan turun naik. Ruangan
padapuran ini dibagi atas bagian atangan (tempat memasak) dan salaian (tempat mengeringkan kayu api), pajijiban dan pagaduran (tempat mencuci piring atau pakaian). Luas ruangan
ini adalah 7 x 3 meter.
Ukuran
Tampak
Belakang Rumah Adat Banjar
Tentang ukuran tinggi, lebar dan panjang setiap rumah
adat Banjar pada umumnya relatif berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh karena
ukuran pada waktu itu didasarkan
atas ukuran depa atau jengkal.
Ukuran depa atau jengkal tersebut justru diambil dari tangan pemilik rumah sendiri; sehingga setiap rumah mempunyai ukuran
yang berbeda.
Ada kepercayaan di sana
yang mengatakan bahwa setiap ukuran haruslah dengan hitungan yang ganjil bilangan ganjil.
Penjumlahan ganjil tersebut tidak saja terlihat
di dalam hal ukuran panjang dan lebar, tapi juga sampai dengan jumlah hiasan tangga, anak tangga, layang-layang puncak dan
lain-lain.
Jikalau diukur, maka panjang bangunan induk
rumah adat Banjar pada umumnya adalah 31 meter sedang lebar bangunan induk adalah 7 meter dan
lebar anjung masing-masing 5
meter.
Lantai dari permukaan tanah sekitar 2 meter
yaitu kolong di bawah anjung dan palidangan; sedangkan jarak lantai terendah
rata-rata 1 meter, yaitu kolong lantai ruang palatar.
Tata
ruang dan kelengkapan
Pintu
belakang dari Rumah Banjar
Tata ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi
membedakan adanya tiga jenis ruang yaitu ruang terbuka, setengah terbuka dan
ruang dalam.
Ruang terbuka terdiri dari pelataran atau
serambi, yang dibagi lagi menjadi surambi muka dan surambi sambutan.
Ruang setengah terbuka diberi pagar rasi
disebut Lapangan
Pamedangan.
Sedangkan ruang dalam dibagi menjadi Pacira
dan Panurunan (Panampik
Kacil), Paluaran (Panampik
Basar), Paledangan (Panampik Panangah) yang terdiri dari Palidangan
Dalam, Anjung
Kanan dan Anjung
Kiwa, serta Panampik
Padu (dapur).
Secara ringkas berikut ini akan diuraikan
situasi ruang dan kelengkapannya;
Di depan surambi muka biasanya terdapat
lumpangan tempat air untuk membasuh kaki. Pada surambi muka juga terdapat
tempat air lainnya untuk pembasuhan pambilasan biasanya berupa guci.
Ruangan ini lantainya lebih tinggi,
dikelilingi pagar rasi. Biasanya pada ruang ini terdapat sepasang kursi
panjang.
- Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil)
Setelah masuk Pacira akan didapatkan tanggui
basar dan tanggui kacil di arah sebelah kiri, sedangkan arah sebelah kanan
terdapat pengayuh, dayung, pananjak dan tombak duha. Di sayap kanan ruangan
terdapat gayung, sandal dan terompah tergantung di Balabat
Panurunan. Sebagai perlengkapan penerangan
dalam ruangan ini terdapat dua buah lampu gantung.
- Paluaran (Panampik Basar)
Ruangan ini cukup besar digunakan untuk
berbagai kegiatan keluarga dan kemasyarakatan apabila masih kekurangan ruang Tawing Halat yang
memisahkan dengan Palidangan dapat dibuka. Di bagian tengah di depan Tawing
Halat ini terletak bufet. Di atasnya agak menyamping ke kiri dan ke kanan
terdapat gantungan tanduk rusa. Di tengah ruangan terdapat dua buah lampu
gantung. Lantainya diberi lampit dan kelengkapan bergerak seperti paludahan, kapit dan
gelas, parapen, rehal.
Ruangan ini terdiri dari Paledangan Dalam dan
Anjung Kiwa - Anjung Kanan. Fungsi ruang sama dengan Paluaran, namun biasanya
diperuntukkan bagi kaum wanita. Di sini terdapat kelengkapan lemari besar, lemari buta, kanap, kendi.
Lantainya diberi hambal sebagai alas duduk.
- Anjung Kanan - Anjung Kiwa
Ruang Anjung Kanan merupakan ruang istirahat yang dilengkapi pula dengan alat rias dan
perlengkapan ibadah. Sedangkan
Anjung Kiwa merupakan tempat melahirkan dan tempat merawat jenazah. Di sini
juga di beri perlengkapan seperti lemari, ranjang, meja dan lain-lain.
Di samping untuk tempat perlengkapan masak
dan kegiatannya, ruang padu ini juga digunakan untuk menyimpan bahan makanan.
Perlengkapan umum yang terdapat di dalamnya adalah dapur, rak dapur,
pambanyuan, lemari, tajau, lampit dan ayunan anak.
Bentuk arsitektur dan pembagian ruang rumah
tradisional Bubungan Tinggi mempunyai kesamaan prinsip antara satu dengan
lainnya, dengan perbedaan-perbedaan kecil yang tidak berarti.
Dari sini dapat dilihat bahwa rumah
tradisional Bubungan Tinggi tersebut mempunyai keterikatan dengan nilai
tradisional masyarakatnya.
Jadi meskipun pada awalnya bentuk tersebut
dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan fungsi dan adaptasi terhadap lingkungan,
tetapi karena sifatnya yang berulang-ulang kemudian dari bentuk fungsional
tersebut berubah menjadi bentuk yang tradisional.
Rumah Gajah
Baliku adalah salah satu rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah Gajah Baliku mimiliki kemiripan dengan Rumah
Bubungan Tinggi, tetapi ada sedikit perbedaan yaitu pada Ruang Paluaran (ruang
tamu) pada Rumah Bubungan Tinggi keadaan lantainya berjenjang sedangkan pada
Rumah Gajah Baliku keadaan lantai ruang Paluaran tidak berjenjang. Hal tersebut
karena Rumah Bubungan Tinggi untuk bangunan keraton/ndalem Sultan yang memiliki
tata nilai ruang yang bersifat hierarkis.
Pada Rumah Gajah
Baliku, atap ruang Paluaran/Ruang Tamu tidak memakai atap sengkuap (= Atap
Sindang Langit) kecauali emper teras paling depan dan memakai kuda-kuda dengan
atap perisai (= Atap Gajah) dengan keadaan lantai ruangan datar saja sehingga
menghasilkan bentuk bangun ruang yang dinamakan Ambin Sayup. Sedangkan
pada kedua anjung sama-sama
memakai atap Pisang Sasikat (atap sengkuap).
Menurut Tim Muskala Depdikbud Kalsel yang
pernah mengadakan penelitian rumah Gajah Baliku menyatakan bahwa :
1.
Atap jurai,
hidung bapicik bentuk muka (maksudnya atap perisai)
2.
Ambin terbuka
kiri/kanan anjung
3.
Atap bubungan
tinggi
4.
Atap sindang
langit tidak ada kecuali pada kedua anjung
5.
Panampik Kacil
tidak ada, yang ada hanya Panampik Basar
Dalam literatur lainnya Tim Muskala Depdikbud
Kalsel menyatakan bahwa : Bagian-bagiannya sama dengan rumah Bubungan
Tinggi. Yang berbeda adalah atap yaitu
1.
Atap bubungan
tingginya sama
2.
Atap kedua
anjung, atap sindang langit (maksudnya atap sengkuap)
3.
Atap panampik
kacil diganti dengan atap jurai dengan muka hidung bapicik (maksudnya atap
perisai)
4.
Atap Panampik
Padu beratap jurai.
Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke
belakang
1.
Surambi Sambutan
2.
Palatar/Pamedangan
3.
Ambin
Sayup/Paluaran
5.
Padapuran/Padu
Gajah Manyusu adalah salah satu rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Pada rumah induk memakai atap
perisai buntung dengan tambahan atap sengkuap (Sindang Langit)
pada emper depan, sedangkan anjungnya memakai atap sengkuap (Pisang Sasikat)
atau dapat pula menggunakan atap
perisai. Nammun menurut Tim Muskala (Museum
dan Purbakala) Depdikbud Kalsel, menyebutkan bahwa Rumah Gajah Manyusu :
" Bentuk sampai dengan anjung sama dengan Gajah Baliku. Yang berbeda
adalah adalah bagian padu. Panampik padu diberi dua buah Ambin Sayup yang
bentuknya lebih kecil dari anjung dan lebih rendah letaknya".
Ciri-cirinya :
2.
Pada teras terdapat 4 buah pilar
yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap
sengkuap yang disebut atap Sindang Langit.
Empat pilar penyangga emper depan (karbil) pada teras dapat diganti model
konsol.
4.
Terdapat Serambi yang disebut Pamedangan
yang menggunakan pagar susur yang disebut Kandang Rasi.
Serambi dapat dibuat berukuran kecil saja pada salah satu sudut.
5.
Sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap yang disebut atap Pisang Sasikat
seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke
belakang
2.
Ruang setengah
terbuka/serambi atas yang disebut Pamedangan
Keterangan
"Rumah ini mempunyai ciri pada bentuk
atap limas dengan hidung bapicik (atap mansart) pada bagian depannya. Anjung mempunyai atap Pisang Sasikat, sedang
surambinya beratap Sindang Langit"
(Tim Depdikbud, Rumah Adat Banjar dan Ragam Hiasnya, Proyek Rehabilitasi dan
Perlusan Museum Kalsel, Depdikbud, 1977/1978).
Ciri-cirinya :
3.
Pada teras (Surambi Sambutan
terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil)
yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit.
Kadang-kadang pilar ini diganti dengan konsol.
5.
Kadang-kadang pada dinding depan
juga terdapat jendela depan (lalungkang hadapan) di sebelah kanan dan
kiri pintu masuk.
6.
Pintu dinding tengah (lawang
tawing halat) berjumlah 2 buah.
9.
Kadang-kadang memakai bentuk
lengkung (gerbang) pada serambi/Pamedangan).
10.
Kadang-kadang terdapat 3 (tiga) buah
pintu masuk (lawang hadapan) karena 2 (dua) buah jendela depan diganti
menjadi pintu juga.
Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke
belakang
Keterangan
Menurut literatur Tim Depdikbud menyatakan
bahwa Balai Laki : "Dalam bentuk umum sama dengan Palimbangan, tapi
dengan ukuran lebih kecil. Atap jurai dengan dahi tajam (maksudnya
atap pelana) dan diberi sungkul bertatah bisa
memakai anjung di belakang
sebelah kiri atau tidak".
Dalam literatur lainnya Tim Depdikbud
menyatakan bahwa salah Balai Laki yang pernah ditelitinya dengan ciri-ciri:
"atap jurai dengan hiasan satu sungkul puncak, anjung sebuah di sebelah kiri atau tidak ada, pintu tawing halat dua
buah".
Balai
Laki vs Palimbangan
Rumah Balai Laki mirip rumah Palimbangan karena
sama-sama memakai atap pelana pada bagian depannya tetapi Rumah Balai Laki
berukuran lebih kecil daripada rumah Palimbangan. Pada suatu keluarga petani,
kadang-kadang rumah Balai Laki tidak memiliki anjung tetapi jelas bukan rumah
Palimbangan karena ukurannya yang kecil tersebut, yang biasanya hanya terdiri
dari serambi pamedangan, ruang Ambin Sayup, ruang Ambin Dalam (Palidangan) dan ruang Padu. Pada rumah Palimbangan lebih megah dari rumah Balai
Laki karena merupakan rumah golongan saudagar besar.
Rujukan
1.
Tim Depdikbud
Kalsel, Rumah Adat Banjar Balai Laki (Kampung Arab Banjarmasin), Depdikbud
Kanwil Kalsel, Bidang Muskala, 1988.
Galeri
Balai Laki di
Banjarmasin.
Tipe
1 (Syamsiar Seman)
Menurut Tim Muskala Depdikbud Kalsel
yang pernah mengadakan penelitian Balai Bini menyatakan bahwa :
1.
Atap merupakan atap jurai
2.
Atap sindang langit di kedua anjung
3.
Pamedangan disambung dengan atap
pisang sasikat
Ruangan yang berturut-turut dari
depan ke belakang
Jadi dapat diambil kesimpulan
ciri-cirinya :
2.
Pada Surambi Sambutan
terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil)
yang memakai atap sengkuap yang disebut atap sindang langit.
3.
Pada dinding depan (Tawing Hadapan)
terdapat 1 Lawang Hadapan (pintu masuk), di antara pintu masuk terdapat jendela
sebelah kanan dan kiri.
5.
Sayap bangunan (anjung) memakai atap sengkuap/zaldedaak ( atap pisang sasikat)
seperti pada rumah Bubungan Tinggi.
6.
Kadang-kadang 4 (empat) buah pilar
penyangga emper depan (karbil) diganti model konsol.
7.
Bagian atas teras (serambi Pamedangan)
kadang-kadang memakai bentuk lengkung (gerbang).
8.
Kadang-kadang tedapat 3 (tiga) buah
pintu masuk karena 2 (dua) buah jendela diganti menjadi pintu juga.
Tipe
2
Dari literatur diperoleh keterangan
rumah adat Balai Bini beratap seperti joglo dengan tambahan atap sindang langit
untuk atap surambinya (1).
Kalau diperhatikan ini Balai Bini
Tipe 2 merupakan pengembangan Balai Bini Tipe 1 dimana terjadi perluasan dinding
dari anjung ke arah
depan sedangkan serambi pamedangan tambah melebar ke kiri dan kanan sehingga
membentuk bangunan atap joglo/limas (bahasa Jawa : limasan lawakan).
Rumah Balai Bini dengan 6 pilar pada
teras (Tipe 2)
Rumah Balai Bini Tipe 2 dengan
variasi atap menyerupai atap joglo di Surgi
Mufti.
Ciri-cirinya :
2.
Terdapat 6 buah pilar yang menyangga
emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap (atap
sindang langit) pada serambi sambutan.
3.
Pada dinding depan (Tawing Hadapan)
terdapat 1 Lawang Hadapan (pintu masuk), di antara pintu masuk terdapat jendela
sebelah kanan dan kiri.
5.
Perluasan dinding anjung ke arah depan serambi pamedangan sehingga membentuk
bangunan dengan atap joglo/limas (bahasa Jawa : limasan lawakan).
Contoh Bangunan Balai Bini Tipe 2
yang modern adalah "Gedung Wanita" di Jl. Hasan Basry, kawasan
Kayutangi, Banjarmasin.
Rumah Balai Bini tempo dulu
Palimbangan adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Bumbungan atap rumah Palimbangan pada rumah induk memakai atap pelana dengan
tebar layar yang disebut Tawing Layar. Jika
memakai anjung maka atapnya
juga menggunakan atap pelana dengan Tawing Layar. Pada
teras/emper depan ditutup dengan atap
sengkuap (atap lessenaardak) yang
disebut atap Sindang Langit. Atap Sindang Langit ini
menerus ke emper samping sampai di depan Anjung membentuk atap pelana yang sangat lebar.
Rumah Palimbangan diperuntukkan bagi golongan
saudagar besar. Rumah Palimbangan berukuranlebih besar dari pada rumah Balai Laki yang juga
beratap pelana.
Palimbangan
dengan anjung memakai Tawing Layar
Rumah Palimbangan ini mempunyai perbedaan
dengan tipe lainnya antara lain pada bentuk atap dan ornamen ukiran yang
dipakai. Ruang paluarannya beratap pelana dengan hiasan layang-layang di
puncak gunungannya. Atap sindang langit untuk surambi juga diteruskan
ke samping sehingga membentuk jurai (jurai luar). Atap ini bertemu atap
sindang langit pada anjungnya. (1)
Contoh rumah Palimbangan memakai anjung
beratap pelana adalah rumah Palimbangan milik Hj. Siti Hawa yang dibangun oleh
kakeknya H. Seta terdapat di Kelurahan Pasayangan, Martapura, Banjar.
Ciri-cirinya :
3.
Bentuk bangunan
lebih besar dari rumah Balai Laki.
4.
Pada Surambi Sambutan terdapat 6 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar :
karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap sindang langit yang
diteruskan ke emper samping kanan dan kiri dengan beberapa buah pilar tambahan.
6.
Serambi
pamedangan (teras) menggunakan pagar Kandang Rasi.
7.
Tangga masuk
lurus dari arah depan atau menyamping dari kiri kanan dengan jumlah trap
ganjil.
8.
Atap anjung
diteruskan ke arah depan menyambung atap sindang langit (karbil).
9.
Lawang (pintu)
Tawing Halat (dinding tengah) berjumlah 2 buah.
10.
Kadang-kadang
ruang anjung
diganti dengan "Ambin Sayup" yang beratap pelana dengan pintu masuk samping
menjadi semacam pavilyun.
11.
Ada kemiripan
dengan rumah Jawa tipe "Kampung Dara Gepak"/rumah "Kampung
Lawakan".
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke
belakang
Palimbangan
Tanpa Anjung
Ciri-cirinya :
3.
Bentuk bangunan
lebih besar dari rumah Balai Laki.
4.
Pada teras
(Palatar Sambutan) terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa
Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit.
7.
Tangga masuk
lurus dari arah depan dengan jumlah trap ganjil.
8.
Tidak ada sayap
bangunan (anjung).
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke
belakang
Rumah
Palimasan dengan Anjung
Menurut Tim Depdikbud, menyatakan bahwa
Palimasan : " Merupakan suatu bangunan yang mukanya menyerupai tipe Gajah Baliku, beratap
jurai dengan muka hidung bapicik (maksudnya atap pelana), bagian paluaran dan pamedangan diperluas
dengan tangga sisi kiri-kanan, tidak berbubungan tinggi, anjung (Pisang Sasikat)
diganti dengan Ambin Sayup".
Menurut Syamsiar Seman
(1983:5) menyatakan bahwa : "Pada kurun waktu kemudian bentuk rumah Bubungan Tinggi ini
berubah bentuk penyederhanaan yang kemudian disebut dengan nama Palimasan.
Denah bangunan tetap sama dengan Bubungan Tinggi tetapi lantai berjenjang
menjadi sama seluruhnya dengan konstruksi bubungan berubah menjadi atap (konstruksi
kuda-kuda) pelana".
Ciri-cirinya :
3.
Terdapat 4 buah
pilar yang menyangga emper depan (bahasa Banjar : karbil) yang memakai
atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit
pada surambi sambutan.
4.
Pada dinding
depan (Tawing Hadapan) terdapat 1 atau 2 atau 3 pintu depan (lawang
hadapan),
6.
Pada umumnya
tangga depan (Tangga
Hadapan) kembar ke kanan dan kekiri.
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke
belakang
5.
Ruang Pantry yang
disebut Padu
Palimasan
tanpa anjung (Rumah Gajah)
Menurut Tim Depdikbud dalam literatur lainnya
menyatakan bahwa ciri-ciri Palimasan : " Atap jurai hidung bapicik (maksudnya
atap pelana), segi empat panjang, tangga masuk dari muka ke pamedangan, hiasan jamang, panapih tidak ada kecuali pilis banturan atap dan pilis samping".
Ciri-cirinya :
3.
Pada dinding
depan (Tawing Hadapan) terdapat 1 atau 2 atau 3 pintu depan (lawang
hadapan),
4.
Serambi yang
dinamakan pamedangan menggunakan pagar susur yang dinamakan Kandang Rasi,
kadang-kadang pada sisi atasnya berupa bentuk lengkung/gerbang.
5.
Pada umumnya
tangga depan (Tangga
Hadapan) kembar ke kanan dan kekiri
serta ada pula yang lurus.
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke
belakang
9.
Hal ini merupakan
suatu bentuk Cacak Burung. Cacak Burung adalah
tanda magis penolak bala yang berbentuk tanda + (positif), karena denah
bangunan ini berbentuk + (tanda tambah), maka dinamakan pula rumah Cacak
Burung.
Ciri-ciri
1.
Memakai tebar
layar yang dinamakan Tawing Layar pada rumah induk.
4.
Pada Surambi Sambutan (teras) terdapat 4 buah pilar yang menyangga emper depan (bahasa
Banjar : karbil) yang memakai atap sengkuap yang disebut atap Sindang Langit.
5.
Pada dinding sisi
depan (Tawing Hadapan) terdapat 1 pintu masuk (lawang hadapan), di
sebelah pintu masuk tersebut terdapat jendela sebelah kanan dan kiri.
9.
Pada ambang atas Pamedangan
memakai bentuk gerbang melengkung (Kandang Rasi Atas).
10.
Pada dinding sisi
depan yang dinamakan Tawing Hadapan
kadang-kadang terdapat lebih dari 1 pintu masuk (lawang hadapan) tetapi
jendela depan biasanya dihilangkan.
11.
Kadang-kadang 4
(empat) buah tiang penyangga emper depan (bahasa Banjar: karbil) yang
terdapat pada Surambi Sambutan diganti model konsol.
Contoh :
1.
Rumah Cacak
Burung di Tunggul Irang, Martapura pemilik H. Basum.
Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke
belakang
2.
Ruang setengah
terbuka (serambi atas) yang dinamakan Pamedangan
Rujukan
1.
Tim Depdikbud,
Rumah Adat Banjar dan Ragam Hiasnya, Proyek Rehabilitasi dan Perlusan Museum
Kalsel, Depdikbud, 1977/1978.
2.
Azan, Seminar
Tata Ruang dan Karakteristik Rumah Tradisional Suku Banjar di Kalimantan
Selatan, Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro, Juni 1994.
Galeri
Rumah Cacak
Burung.
adah Alas adalah salah satu rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Rumah Tadah Alas merupakan pengembangan dari Rumah Balai Bini yaitu
dengan menambahkan satu lapis atap perisai sebagai kanopi paling depan. Atap
kanopi inilah yang disebut "tadah alas" sehingga rumah adat ini
dinamakan rumah Tadah Alas.
Ciri-ciri bangunan :
2.
Diberi tambahan
satu lapis atap perisai (atap gajah) pada bagian paling depan yaitu atap yang
menutupi kanopi paling depan dari bangunan yang menutupi serambi terbuka/Pamedangan
yang berukuran kecil menjorok ke depan dengan ditopang 2 pilar.
Ruang
Ruangan yang berturut-turut dari depan ke
belakang
Keterangan
Menurut tim Depdikbud Kalsel (sekarang
Depdiknas Kalsel), ciri-ciri Tadah Alas adalah sebagai berikut:
1.
Atap jurai diberi
satu lapis atau atap tumpang sama panjang dengan dibawahnya.
Rumah Lanting adalah rumah
rakit tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan dengan pondasi rakit mengapung terdiri dari susunan
dari batang-batang pohon yang besar yang selalu oleng dimainkan gelombang dari
kapal yang hilir mudik di sungai. Rumah Lanting banyak terdapat di sepanjang
sungai-sungai di Kalimantan. Rumah Lanting juga terdapat di sepanjang sungai Musi
di Palembang, Sumatera Selatan
dengan sebutan Rumah
Rakit.
Ciri-ciri :
1.
Bubungan memakai
atap pelana
2.
Landasan pelampung
supaya mengapung dengan tiga batang besar pokok kayu, di atasnya dipasang
gelagar ulin untuk dasar bangunan
Galeri
Rumah Lanting yang
terdapat di Kampung Pacinan Laut, Kelurahan Gadang.
·
Rumah Lanting di
Banjarmasin (difoto pada zaman pendudukan Belanda).
·
Rumah Lanting
sebagai toko terapung.
·
Rumah Lanting di
Kuin Selatan.
Rumah Bulat ini
terdapat di Desa Penghulu, Marabahan, Barito Kuala. Bentuk bangunan rumah Joglo terdiri atas 3 susunan
atap limas yang berderet ke belakang dengan satu tambahan atap limas yang lebih
kecil pada paling belakang yang merupakan bangunan dapur (Padu). Rumah limas seperti ini kalau di Jawa disebut Rumah Limasan
Endas Telu merupakan tiga atap
limas yang berderet ke belakang.
Di Banjarmasin
juga terdapat jenis rumah Joglo yang disebut Joglo Gudang yaitu satu buah atap
limas dengan disambung atap Sindang Langit di
depan dan atap Hambin Awan di belakang. Terdapat juga model Joglo Gudang yang
besar dengan tambahan serambi Pamedangan hingga ke
samping kiri dan samping kanan rumah.
Secara etimologi
berasal dari kata Joglo dan gudang. Dinamakan
Rumah Joglo karena menyerupai model rumah limasan suku Jawa yang disebut
rumah Joglo, sedangkan
istilah 'gudang' karena pada bagian kolong rumah (yang dalam bahasa Banjar disebut berumahan)
dipergunakan sebagai gudang untuk menyimpan hasil hutan, karet yang merupakan komoditas
perdagangan pada zaman dulu.
Di Banjarmasin,
rumah jenis ini banyak ditempati orang Tionghoa-Banjar. Rumah Joglo Gudang merupakan salah khasanah kekayaan
arsitektur daerah Kalimantan Selatan yang pernah berkembang pada masa lampau.
Konstruksi
Walaupun menyerupai Rumah Joglo yang ada
di Jawa, rumah Joglo
Gudang di Kalimantan Selatan dibangun dengan kostruksi rumah panggung kayu dengan teknik bangunan lokal
seperti pada rumah Banjar pada umumnya.
Ruang
Ruang-ruang berturut-turut dari depan ke
belakang terdiri atas :
Surambi Sambutan adalah ruang terbuka yang ditutupi atap pada teras/emper rumah Banjar
yang berfungsi untuk menyambut tamu. Pada ruang terbuka ini bisanya terdapat
pilar penyangga emper depan yang berjumlah 4 buah (pada rumah yang memakai
teras samping, pilar depan berjumlah 6 buah). Atap emper ini disebut karbil
yang beratap sengkuap yang dinamakan Sindang Langit.
Pada Surambi Sambutan biasanya
terdapat Tangga
Hadapan (tangga depan rumah) yang
berbentuk :
1.
Tangga lurus ke depan
Tangga Kembar Siam (Tangga Kembar Siam adalah tangga depan
(Tangga Hadapan) pada rumah Banjar yang tiap tangganya masuk dari dua arah yaitu arah
kiri dan kanan. Semula suku Banjar hanya mengenal tangga depan (Tangga
Hadapan) pada rumah
panggung yang arah masuknya lurus
dari depan, tetapi kemudian berkembang teknik pengetahuan untuk membuat tangga
yang arah masuknya dari dua arah yaitu arah kiri dan kanan.
Bagian-bagian Tangga Kembar Siam :
2.
Pada Surambi Sambutan kadang-kadang
juga memakai pagar susur yang disebut Kandang Rasi.
Demikian pula pada ambang atasnya terdapat semacam Kandang Rasi Atas berupa
papan berukir yang dipasang berdiri. Sekeliling atap emper depan (Sindang Langit)
terdapat cucur atap (banturan atap) yang memakai pilis (lisplang berukir) dengan bagian Ujung Pilis
biasanya berupa ornamen flora, naga/burung enggang yang didestilir.
Pada Surambi Sambutan inilah
biasanya seorang tamu yang dihormati akan disambut atau diantarkan ketika
hendak pulang. Hal ini sebagai penghormatan untuk sang tamu, tetapi jika tamu
yang tidak begitu penting hanya disambut/diantarkan kepulangannya dari serambi
atas (Pamedangan) atau pintu masuk (Lawang Hadapan)
saja.
Di sini seorang mempelai wanita
menyambut kedatangan mempelai pria dalam upacara perkawinan untuk selanjutnya
di bawa masuk ke dalam rumah menuju pelaminan dengan terlebih dahulu melalui
acara berbalas pantun atau permainan pencak silat (ba-kuntau).
Pamedangan atau Paseban adalah ruang setengah terbuka pada
rumah tradisonal suku Banjar (rumah Banjar)
di Kalimantan Selatan dan sekitarnya. Di depan Pamedangan terdapat teras rumah
yang disebut Surambi Sambutan. Pamedangan berasal dari kosa kata bahasa Banjar
yaitu mamedang (= duduk bersantai di serambi), sedangkan Paseban
dari kosa kata seba yaitu ruang dimana rakyat menghadap kepada para Pangeran (jika di
keraton berwujud bangunan yang disebut Balai Seba).
Lapangan Pamedangan adalah tempat
duduk beristirahat sore maupun malam hari. Di tempat ini terdapat sepasang
kursi panjang yang diukir dan dilapis dengan tilam kampikan.
Antara ruang Lapangan Pamedangan yang
dindingnya terbuka dan ruang Panampik Kacil dalam rumah terdapat Tawing
Hadapan. Varian pada tipe lainnya pada sisi kanan maupun kiri Pamedangan berupa
dinding tertutup dengan jendela berdaun dua.
Langit-langit Pamedangan pada rumah Bubungan Tinggi
tidak memakai plafon tetapi pada jenis rumah Banjar
lainnya memakai plafon yang disebut galadak dengan
ornamen yang dilukis. Pada langit-langit Pamedangan digantung dua buah lampu
antik. Pada jenis rumah Banjar lainnya dapat mencapai 3 buah titik lampu.
Bagian-bagian pamedangan :
Bentuk pamedangan :
1.
Serambi penuh
2.
Serambi kecil di tengah-tengah
3.
serambi kecil yang menjorok keluar
Panampik Kacil atau Panurunan adalah sebuah ruang pada Rumah Bubungan Tinggi yang terletak di depan pintu masuk.
Pacira dipakai sebagai tempat untuk
menyimpan alat perikanan, pertukangan dan sebagainya.
Ruang Panampik Kacil atau Panurunan
ini berfungsi sebagai lumbung padi (kindai) yaitu tempat menyimpan bahan
makanan dalam waktu lama serta peralatannya.
Ruang ini dibatasi dengan pagar di
kiri dan kanannya sehingga menjadi lorong yang menghubungkan Palatar dan ruang
Panampik Tangah.
Dalam perkembangan selanjutnya ruang
ini tidak lagi untuk penyimpanan padi. Lumbung padi dipindahkan ke Padapuran.
Pada sisi kiri dan kanan terdapat jendela.
Peralatan yang terdapat pada ruang
ini :
1.
Tempat tanggui (caping) besar dan kecil
2.
Tempat peralatan angkutan sungai
seperti dayung, pananjak, dll
3.
Tombak duha
4.
Tempat gayung mandi, sandal, dll
5.
Lampu gantung kecil
6.
Pacira
7.
Hasil pertanian
Jika ada kenduri atau selamatan,
ruang ini merupakan tempat duduk berkumpul para anak-anak laki-laki.
Pada langit-langit ruang Panampik
Basar digantung dua buah lampu gantung besar (lampu antik) yang berfungsi
sebagai alat penerangan ruangan pada waktu malam hari.
Di tengah-tengah Tawing Halat
(dinding tengah) dipajang sebuah cermin besar dan di depannya diletakkan sebuah
bufet. Bagian tengah Tawing Halat ini dipasang papan yang dapat dilepas
sewaktu-waktu jika diperlukan sehingga Ruang Panampik Basar dan Ruang
Palidangan/Panampik Panangah yang ada di sisi dalam menjadi ruangan yang menyatu.
Pada bagian kiri dan bagian kanan Tawing Halat
(dinding tengah) biasanya digantung tanduk menjangan dan sepasang tempat
kopiah.
Jendela terdapat pada sisi kiri dan
kanan ruangan dengan tetada.
Lantai ruang Panampik Basar pada
umumnya dipasang tikar lampit rotan juran tiga bebujur.
Peralatan pada ruang ini:
1.
Lampu gantung besar
2.
Cermin besar dan bufet di depannya
3.
Gantungan dari tanduk menjangan dan
sepasang sangkutan kopiah
4.
Jendela dengan tetadanya
Palidangan atau Ambin Dalam adalah ruang dalam yang
merupakan ruang induk pada jenis-jenis rumah Banjar. Pada Rumah Bubungan Tinggi, ruang ini disebut juga ruang Panampik Panangah.
Ruang ini pada rumah Jawa dapat disamakan dengan bangunan/ruang Dalem. Ruang ini secara kosmologis merupakan pusat rumah atau titik tengah rumah,
yang secara filosofi merupakan ruang yang paling penting (privat).
Ruang Palidangan berbatasan dengan ruang Panampik Basar pada
sisi depan, dengan ruang Panampik Dalam pada
sisi belakang dan Anjung pada sisi kiri dan kanan. Ruang Palidangan ditutupi oleh atap Bubungan Tinggi.
Lantai Palidangan merupakan lantai rumah
panggung. Lantai Palidangan sama
tingginya dengan ruang Panampik Basar, tetapi
ada juga beberapa rumah yang membuat lantai Panampik Basar lebih rendah dari
lantai ruang Palidangan.
Di dalam ruang ini terdapat tiang-tiang besar
(berjumlah 8 batang) yang menyangga Bubungan Tinggi yang
disebut Tihang
Pitugur atau Tihang
Guru. Tihang Pitugur membentuk
konstruksi utama bangunan yang disebut Sangga
Ribut.
Karena dasar (ambang bawah) dari dua buah pintu yang ada di Tawing Halat (bahasa Jawa disebut Seketeng) tidak sampai ke dasar lantai maka watun(ambang pintu) pada Tawing Halat
disebut Watun
Langkahan. Kalau ada pertunjukan Wayang Kulit Banjar atau upacara perkawinan maka bagian tengah Tawing Halat yang
merupakan pemisah ruang Palidangan (Pringgitan) dengan ruang Paluaran dibuka,
sehingga menjadi suatu ruang yang besar.
Fungsi
Ruang
Fungsi Palidangan adalah untuk menempatkan tamu wanita dan kerabat dekat ketika mengadakan selamatan atau acara
keramaian lainnya seperti menyampir (nanggap) Wayang Kulit Banjar (bawayang) dan acara perkawinan. Dalam
ruang inilah pada zaman dahulu, Ki Dalang meletakkan perlengkapan pertunjukkan wayang dan memainkan lakon pewayangannya.
Peralatan
Peralatan yang disimpan pada ruang ini
misalnya :
1.
Sampiran senjata
2.
Lemari besar
untuk menyimpan alat-alat upacara
3.
Kanap (meja kecil
tempat air minum)
4.
Kursi malas
5.
Lemari besar
untuk menyimpan barang pecah belah
6.
Lemari buta
(lemari tanpa kaca untuk menyimpan alat-alat dapur)
7.
Kanap
8.
Tikar hambal
(permadani)
PanampikPanampik
Dalam atau Panampik Bawah adalah ruang belakang pada rumah Banjar. Ruangan ini
berada di antara ruang Palidangan/Panampik Panangah (sisi depan)
dengan ruang Padapuran/Padu (sisi belakang). Pada ruang inilah
biasanya ibu-ibu berkumpul untuk menyiapkan hidangan dalam suatu acara
selamatan yang mengundang banyak tamu.
Permukaan
lantainya lebih rendah dari ruang Panampik Panangah. Ambang
lantainya disebut Watun Jajakan.
Padapuran atau Padu adalah ruang pantry pada rumah Banjar
(rumah Bubungan Tinggi) yang terletak pada bagian paling belakang rumah Banjar
dan pada bagian tersebut terdapat ruang Pambasuhan (Ruang Basuhan) untuk tempat
mencuci. Pada Rumah Bubungan Tinggi, biasanya permukaan lantainya lebih rendah
dari ruang Panampik Dalam dan ambang lantainya disebut Watun
Juntaian. Watun juntaian tersebut diberi
tangga untuk turun-naik dari ruang Panampik Bawah
ke Padapuran. Sedangkan dari halaman belakang rumah terdapat satu tangga naik
ke ruang Padapuran dari arah belakang atau dari arah samping.
Ruang Padapuran berfungsi tempat
untuk memasak makanan dan mencuci.
Pada rumah Bubungan Tinggi, Bubungan
atap ruang Padapuran pada umumnya merupakan sambungan dari atap Hambin Awan,
tetapi sering juga ruang Padapuran ini menjadi sebuah bangunan kecil dengan
bubungan atap tersendiri dengan berbagai model variasi atap.
Peralatan pada ruang ini:
1.
Ayunan anak-anak
2.
Lemari yang berisi peralatan dapur
3.
Hamparan lampit untuk makan
4.
Rak piring, mangkok, gelas dan
sebagainya
5.
Pedaringan beras
6.
Tajau (tempayan) berisi air minum
7.
kanap tempat lampu dan alat
penerangan lain
8.
Dapur (tungku) dan salaian (tempat
mengeringkan kayu bakar)
9.
Kindai banih (lumbung padi)
Bangun Gudang adalah salah satu rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan. Atap pada dasarnya memakai atap
perisai dengan serambi Pamedangan kecil di tengah-tengah.
Pada bagian kiri dan bagian kanan dari "serambi pamedangan" diubah
sebagai dinding depan kecuali bagian tengah yang tetap sebagai serambi pamedangan kecil yang
diapit di antara kedua dinding depan tersebut. Memiliki tiga pintu masuk yaitu
satu dari tengah, dari samping kiri dan dari samping kanan Pamedangan. Tidak
terdapat 4 buah pilar yang biasanya ada pada teras rumah Banjar.
Tim
Muskala Depdikbud Kalsel
Menurut Tim Muskala Depdikbud Kalsel yang
pernah mengadakan penelitian rumah Bangun Gudang menyatakan bahwa
ciri-cirinya :
1.
Atap berbentuk
atap gajah
2.
Tangga masuk dari
muka
4.
Pintu masuk tiga
buah (masing-masing dari tiga arah)
Miniatur
jukung gundul suku Banjar
Erik
Petersen telah mengadakan penelitian
tentang jukung Banjar dalam bukunya Jukungs Boat From The Barito Basin,
Borneo. Jukung adalah transportasi khas Kalimantan. Ciri
khasnya terletak pada teknik pembuatannya yang mempertahankan sistem pembakaran
pada rongga batang kayu bulat yang akan dibuat menjadi jukung. Jenis
Jukung :
Jukung
sudur adalah perahu yang terbuat dari kayu bulat yang dibelah dua dan kemudian
ditakik memanjang di tengahnya. Bentuknya seperti lesung yang memanjang. Ujung
dan pangkalnya berbentuk lancip atau runcing.
ara pembuatan jukung sudur yaitu
menebang kayu dengan belayung, kemudian kayu dipotong (ditatak) dengan
menggunakan belayung, kemudian kayu dibelah, membentuk haluan hingga berbentuk
runcing (lincip), membentuk sekat sebanyak tiga pasang, membuat lobang di
tengah, maubang (membuang kayu bagian dalam sehingga berbentuk lobang dari
haluan sampai buritan). Yang terakhir adalah manarah (meratakan bagian yang
beluym rata).
Jukung
patai adalah perahu yang terbuat dari kayu bulat. Ukuran dinding lambungnya
dibuat agak tipis dan diberi sampung (kepala perahu), baik pada haluan maupun
pada buritannya. Cara pembuatan jukung patai adalah menebang pohon
manatak,membentuk ujung dan pangkal jukung
membentuk badan perahu, manarah bagian atas, dibor, melubangi bagian
dalam jukung, pembanaman ke atas api, membangkilas, membuka badan perahu, tahap
akhir membentuk perahu.
Jukung
yang ditambah oleh dinding, sangkar dan lantai.
Jukung
yang ditambit lambungnya dengan ulin, sampung belakang juga disambung untuk
meninggikan dengan bentuk bundar kepalanya.
Bentuk panjang dan agak kurus. Digunakan
untuk pelanjaan dan pertandingan.
Jukung pantai yang paling besar .
Juking yang dibuat khusus untuk mencari
ikan.
Parahu
batambit adalah perahu yang terbuat dari susunan balok kayu dan papan tebal
dari kayu ulin. Perahu ini umumnya jauh lebih besar ukurannya dari jukung sudur
dan jukung patai . cara pembuatanya adalh
membuat lunas balokan ulin untuk tajuk pelekat, mebuat dan memasang
dinding badan jukung, tahap akhir pemasangan lantai.
Digunakan untuk angkurtan tetapi
sekarang ini hanya dipajang di msium.
Digunakan untuk mengangkat barang dalam jumlah
besar.
Jenis perahu lainnya misalnya :
Wayang Banjar terdiri
dari :
Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan , telah mengenal pertunjukan
wayang kulit sekitar awal abad ke-XIV. Pernyataan ini diperkuat karena pada
kisaran tahun 1300 sampai dengan 1400, dimana Kerajaan Majapahit telah menguasai sebagian wilayah Kalimantan (Tjilik Riwut, 1993), dan membawa serta menyebarkan pengaruh agama Hindu dengan
jalan pertunjukan wayang kulit.
Konon pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Andayaningrat membawa
serta seorang dalang wayang kulit bernama R. Sakar Sungsang lengkap
dengan pengrawitnya, pegelaran langsung ( sesuai pakem tradisi Jawa ) yang
dimainkannya kurang dapat dinikmati oleh masyarakat Banjar, karena lebih banyak
menggunakan repertoar dan ideom-ideom jawa, yang sulit untuk dimengerti
masyarakat setempat.Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan
dan melegenda antara lain almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang), almarhum Ki
Surono (Banjarnegara), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Jogjakarta), Ki
Anom Suroto, Ki Mantep Sudarsono, Ki Enthus Susmono. Sedangkan Pesinden yang
legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.
Pada saat memudarnya kerajaan Majapahit dan mulai
berdirinya kerajaan Islam (1526 M), pertunjukan wayang kulit mulai diadaptasi
dengan muatan-muatan lokal yang dipelopori oleh Datuk Toya, penyesuaian
itu terus berlangsung sampai abad ke-XVI, perlahan-lahan wayang kulit itu
berubah, dan sesuai dengan citra rasa dan estetika masyarakat Banjar.
Sekarang Wayang Kulit Banjar , telah menjadi seni
pertunjukan yang berdiri sendiri dan memiliki ciri-ciri spesifik yang
membedakannya dengan jenis wayang kulit lainnya, baik dari segi bentuk,
musik/gamelan pengiring, warna , ataupun tata-cara memainkannya, walaupun
tokoh-tokoh wayang cenderung mengikuti pakem pewayangan dan juga dikembangkan
dari tokoh dan perlambang masyarakat Banjar , seperti terdapatnya gunungan/kayon, Batara Narada, Arjunawijaya, jambu Leta Petruk, Sarawita/Bilung, Subali, R.Hanoman,Prabu Rama, Kedakit Klawu atau Raksasa dan lainnya.
Bahan untuk membuat wayang kulit di Jawa biasanya adalah
kulit/tulang kerbau, mengingat pada saat itu kerbau kurang dibudidayakan, maka
bahan untuk membuat wayang kulit Banjar ini berasal dari kulit sapi bahkan
adapula yang terbuat dari kulit kambing. Secara umum bentuk dan fostur wayang
kulit Banjar relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan wayang kulit yang
asal dari Jawa, demikian pula dengan penatahan (ornamen), dan
pengecatannya lebih sederhana, mengingat dalam pegelaran wayang kulit Banjar
"lebih diutamakan oleh bayangan berdasarkan penglihatan dari belakang
layar" , sehingga ornamen, detail dan warna ,kurang terlihat oleh penonton
, karena dibatasi oleh layar.
Cerita wayang kulit Banjar bersumber dari dua kitab kuno
yang berasal dari khasanah Hindu, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Selain dari
kedua cerita tersebut , dalang wayang kulit Banjar sering pula menampilkan
cerita karangan/ gubahan sendiri yang mereka sebut lakon Carang adan dalam
perkembangannya lakon Carang inilah yang menjadi primadona masyarakat Banjar.
Selain lakon Carang , di Kalimantan Selatan juga berkembang pertunjukan " Wayang Sampir" ,
nanggap wayang sampir untuk suatu hajat tertentu disebut manyampir,
merupakan ritual yang dipimpin oleh dalang untuk mengusir roh-roh jahat yang
mengganggu kehidupan manusia, dan biasanya diselenggarakan dalam bentuk
pagelaran padat dengan jangka waktu pelaksanaan pada kisaran dua jam dan
kemudian dilanjutkan dengan pagelaran biasa.
Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya diselenggarakan
pada kesempatan khitanan, upacara perkawinan adat, hari-hari besar nasional,
ataupun untuk memenuhi nazar seseorang, dengan tempat pertunjukan di tanah
lapang, halaman kantor/ rumah yang dapat menampung penonton, yang
menyaksikannya dengan berdiri , duduk ataupun lesehan sesuai keinginannya.
Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya di atas panggung, lengkap dengan layar
dan alat penerangan "blencong" ,
merupakan lampu dengan sumbu api dengan bahan bakarnya dari minyak kelapa. Pada
saat wayang kulit dimainkan oleh dalang, blencong tersebut dipasang di belakang
layar, sehingga jatuhnya bayangan dari wayang kulit tepat pada layar . Di sisi
kiri dan kanan dalang dipasang barisan wayang kulit, sementara pada penabuh
gamelan duduk di belakang dalang sambil memainkan alat musiknya masing-masing.
Pengetahuan untuk menjadi dalang memiliki tatacara
tertentu. Mula-mula diserahkan piduduk (semacam
sesajen) kepada guru dalang untuk belajar. Bila murid sudah mengetahui pakem,
tahu tentang tembang, mengetahui tentang gamelan maka ia batamat dengan
jalan upacara mandi yang disebut badudus kemudian
melakukan upacara pernapasan yang disebut bajumbang. Dalam kondisi ini
ia (calon dalang) kawin dengan Arjuna. Sebelum memainkan wayang, ia harus mampu
mengucapkan Bisik Semar (mantera sebelum mendalang) dan menyarung
diri (menitis) dengan Arjuna sebagai
dalang sejati.
Sekarang Wayang Kulit Banjar , telah menjadi seni
pertunjukan yang berdiri sendiri dan memiliki ciri-ciri spesifik yang
membedakannya dengan jenis wayang kulit lainnya, baik dari segi bentuk,
musik/gamelan pengiring, warna , ataupun tata-cara memainkannya, walaupun
tokoh-tokoh wayang cenderung mengikuti pakem pewayangan dan juga dikembangkan
dari tokoh dan perlambang masyarakat Banjar , seperti terdapatnya gunungan/kayon, Batara Narada, Arjunawijaya, jambu Leta Petruk, Sarawita/Bilung, Subali, R.Hanoman,Prabu Rama, Kedakit Klawu atau Raksasa dan lainnya.
Bahan untuk membuat wayang kulit di Jawa biasanya adalah
kulit/tulang kerbau, mengingat pada saat itu kerbau kurang dibudidayakan, maka
bahan untuk membuat wayang kulit Banjar ini berasal dari kulit sapi bahkan
adapula yang terbuat dari kulit kambing. Secara umum bentuk dan fostur wayang
kulit Banjar relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan wayang kulit yang
asal dari Jawa, demikian pula dengan penatahan (ornamen), dan
pengecatannya lebih sederhana, mengingat dalam pegelaran wayang kulit Banjar
"lebih diutamakan oleh bayangan berdasarkan penglihatan dari belakang
layar" , sehingga ornamen, detail dan warna ,kurang terlihat oleh penonton
, karena dibatasi oleh layar.
Cerita wayang kulit Banjar bersumber dari dua kitab kuno
yang berasal dari khasanah Hindu, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Selain dari
kedua cerita tersebut , dalang wayang kulit Banjar sering pula menampilkan
cerita karangan/ gubahan sendiri yang mereka sebut lakon Carang adan dalam
perkembangannya lakon Carang inilah yang menjadi primadona masyarakat Banjar.
Selain lakon Carang , di Kalimantan Selatan juga berkembang pertunjukan " Wayang Sampir" ,
nanggap wayang sampir untuk suatu hajat tertentu disebut manyampir,
merupakan ritual yang dipimpin oleh dalang untuk mengusir roh-roh jahat yang
mengganggu kehidupan manusia, dan biasanya diselenggarakan dalam bentuk
pagelaran padat dengan jangka waktu pelaksanaan pada kisaran dua jam dan
kemudian dilanjutkan dengan pagelaran biasa.
Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya diselenggarakan
pada kesempatan khitanan, upacara perkawinan adat, hari-hari besar nasional,
ataupun untuk memenuhi nazar seseorang, dengan tempat pertunjukan di tanah
lapang, halaman kantor/ rumah yang dapat menampung penonton, yang
menyaksikannya dengan berdiri , duduk ataupun lesehan sesuai keinginannya.
Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya di atas panggung, lengkap dengan layar
dan alat penerangan "blencong" ,
merupakan lampu dengan sumbu api dengan bahan bakarnya dari minyak kelapa. Pada
saat wayang kulit dimainkan oleh dalang, blencong tersebut dipasang di belakang
layar, sehingga jatuhnya bayangan dari wayang kulit tepat pada layar . Di sisi
kiri dan kanan dalang dipasang barisan wayang kulit, sementara pada penabuh
gamelan duduk di belakang dalang sambil memainkan alat musiknya masing-masing.
Pengetahuan untuk menjadi dalang memiliki tatacara
tertentu. Mula-mula diserahkan piduduk (semacam
sesajen) kepada guru dalang untuk belajar. Bila murid sudah mengetahui pakem,
tahu tentang tembang, mengetahui tentang gamelan maka ia batamat dengan
jalan upacara mandi yang disebut badudus kemudian
melakukan upacara pernapasan yang disebut bajumbang. Dalam kondisi ini
ia (calon dalang) kawin dengan Arjuna. Sebelum memainkan wayang, ia harus mampu
mengucapkan Bisik Semar (mantera sebelum mendalang) dan menyarung
diri (menitis) dengan Arjuna sebagai
dalang sejati.
Mamanda merupakan seni teater tradisonal suku Banjar.
Tradisi Bananagaan
1. Naga badudung
Naga Badudung adalah suatu bentuk naga yang dibuat dari kayu dengan
leher tegak, kepala datar, mulut menganga, mata melotot dan lidah menjulur.
Patung serupa
sampai saat ini masih banyak disimpan oleh beberapa kelompok masyarakat di Hulu Sungai, dan
dirawat secara berkala atau pada waktu tertentu 'diberi' kembang.
Naga tersebut
diletakkan di samping pelaminan pengantin, dipasang pada haluan perahu yang
membawa pengantin, dibuatkan badan dalam upacara bananagaan (di Banua Halat, Tapin, dalam upacara Baayun Mulud), dipercaya di Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan bahwa air siraman naga tersebut dapat menyembuhkan
penyakit.
Dalam upacara
perkawinan, naga dianggap sebagai penolak bala, yang bisa menawarkan gangguan
alam (angin ribut dan hujan lebat) dan simbol pengharapan agar mempelai tidak
mendapat halangan dalam bahtera rumah tangga.
Kepala
Naga Darat
Kepala Naga Darat adalah suatu bentuk kepala naga yang
diletakan pada kendaraan pengantin pria yang diarak menuju pengantin wanita di
alun-alun atau halaman rumah. Kepala naga ini dibuat dari kayu dengan hiasan
berupa sisik, sulur daun dan bunga.
2. Kepala Naga Gambar Sawit
3. Kepala Naga Darat
Seni
Tradisonal Banjar Berbasis Sastra (Folklor Banjar)
Etimologi
dan definisi
Madihin berasal dari
kata madah dalam bahasa Arab artinya nasihat, tapi bisa juga
berarti pujian. Puisi
rakyat anonim bergenre Madihin ini
cuma ada di kalangan etnis Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi Madihin dengan
sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan cara mengadopsinya dari khasanah di
luar folklor Banjar.
Tajuddin Noor Ganie (2006) mendefinisikan Madihin dengan rumusan sebagai
berikut : puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau
dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu
sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor
Banjar di Kalsel.
Bentuk
fisik
Masih menurut Ganie (2006), Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut
dari pantun berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4
buah. Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik
persajakannya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b atau
a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada yang
berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan semua baitnya
saling berkaitan secara tematis.
Madihin merupakan genre/jenis puisi rakyat
anonim berbahasa Banjar yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di depan
publik dengan cara dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang,
atau 4 orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini
Antemas (dalam Majalah Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi penuturan
Madihin (bahasa Banjar : Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada
tahun 1526.
Status
Sosial dan Sistem Mata Pencaharian Pamadihinan
Madihin dituturkan sebagai hiburan rakyat
untuk memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar Bakarasmin) yang digelar dalam rangka memperintai hari-hari besar
kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur
tamu agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan,
pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara tolak bala, dan upacara adat
membayar hajat (kaul, atau nazar).
Orang yang menekuni profesi sebagai seniman
penutur Madihin disebut Pamadihinan. Pamadihinan merupakan seniman penghibur rakyat yang
bekerja mencari nafkah secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara
berkelompok.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional
yang harus dipenuhi oleh seorang Pamadihinan, yakni : (1) terampil dalam
hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang
sudah dibakukan secara sterotipe, (2) terampil dalam hal mengolah tema dan
amanat (bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam hal olah
vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan publik,
(4) terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin, (5) terampil
dalam hal mengolah musik penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang
Madihin), dan (6) terampil dalam hal
mengatur keserasian penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik.
Tradisi Bamadihinan masih tetap lestari
hingga sekarang ini. Selain dipertunjukkan secara langsung di hadapan publik,
Madihin juga disiarkan melalui stasiun radio swasta yang ada di berbagai kota
besar di Kalsel. Hampir semua stasiun radio swasta menyiarkan Madihin satu kali
dalam seminggu, bahkan ada yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin
bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali
lomba Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan hadiah uang
bernilai jutaan rupiah.
Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga menjadi
sarana hiburan alternatif yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat
pemukiman etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga
tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar daerah
atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya dalam bercocok
tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah (berdiplomasi), berkuntaw
(seni bela diri), bergulat, berloncat indah, berenang, main catur, dan
bernegoisasi (menjadi calo atau makelar), tetapi juga membawa serta
keterampilannya bamadihinan (baca berkesenian).
Para Pamadihinan yang menekuni pekerjaan ini
secara profesional dapat hidup mapan. Permintaan untuk tampil di depan publik
relatif tinggi frekwensinya dan honor yang mereka terima dari para penanggap
cukup besar, yakni antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa orang di
antaranya bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena ada sejumlah
perusahaan kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin yang tertarik untuk
menerbitkan rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan kaset, VCD, dan DVD
tersebut ternyata sangatlah besar.
Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar
di Kalsel masih belum begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa
bagi seorang Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar : Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal
benang, selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan,
perikanan, dan peternakan.
Keberadaan
Madihin di Luar Daerah Kalsel
Madihin tidak hanya disukai oleh para peminat
domestik di daerah Kalsel saja, tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di
berbagai kota besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak
Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan
pertunjukan Madihin humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari kota
Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, beliau ketika itu
berkenan memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon
Tralala. Selain Jhon
Tralala dan Hendra, di daerah Kalsel
banyak sekali bermukim Pamadihinan terkenal, antara lain : Mat
Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di kota
Martapura), Rasyidi dan Rohana(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura Kandangan), Khair dan Nurmah (Kandangan), Utuh
Syahiban Banjarmasin), Syahrani (Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru).
Madihin mewakili Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu.
Datu
Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin
Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk
profesi yang lekat dengan dunia mistik, karena para pengemban profesinya harus
melengkapi dirinya dengan tunjangan kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib
yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu
Madihin.
Pulung difungsikan sebagai kekuatan
supranatural yang dapat memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang
Pamadihinan. Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat
mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya hingga ke
tingkat yang paling kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah yang membuat tidak
semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamadihinan, karena
Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin kepada para Pamadihinan yang secara
genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Madihin yang menjadi sumber asal-usul
Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari,
alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat
dalam konsep kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini
sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal keberadaan
Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun
sekali, jika tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan
Pulung dilakukan dalam sebuah ritus
adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh
Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Menurut Saleh
dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam
kampung, dan minyak
likat baboreh. Jika Datu Madihin
berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan
selama beberapa saat. Pada saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan
menuturkan syair-syair Madihin yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin
yang menyurupinya ketika itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan
tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu
merupakan pertanda mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu
Madihin. Tidak ada pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur
teratur secara sukarela dari panggung pertunjukan Madihin
Peribahasa Banjar
Berbentuk Puisi
Etimologi
dan Definisi
Secara etimologis, istilah peribahasa menurut
Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari bahasa Sanksekerta pari dan bhasya, yakni bahasa (bhasya)yang yang disusun secara
beraturan (pari). Etnis Banjar di Kalsel menyebut peribahasa dengan istilah paribasa (Hapip, 2001:137), istilah ini hampir sama dengan istilah paribasan dalam bahasa Jawa yang digunakan di DI Yogyakarta,
Jateng, dan Jatim.
Menurut Tajuddin Noor Ganie (2006:1) dalam bukunya berjudul Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, peribahasa
Banjar ialah kalimat pendek dalam bahasa Banjar yang
pola susunan katanya sudah tetap dengan merujuk kepada suatu format bentuk
tertentu (bersifat formulaik), dan sudah dikenal luas sebagai ungkapan
tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan
berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan
perulangan.
Berdasarkan karakteristik bentuk fisiknya,
peribahasa Banjar menurut Ganie (2006:1) dapat dipilah-pilah menjadi 2 kelompok
besar, yakni :
Gurindam Banjar adalah suatu istilah yang langsung diadopsi untuk
memberi nama fenomena yang sama dalam khasanah peribahasa
Banjar berbentuk puisi yang memiliki
kemiripan dengan gurindam dalam sastra Melayu.
Sebenarnya istilah Gurindam tidak ada
padanannya dalam bahasa Banjar.
Menurut Ganie (2006), Gurindam Banjar adalah
kata-kata dalam bahasa Banjar yang disusun dalam bentuk 2 baris puisi bersajak
akhir a/a baik secara vertikal maupun horisontal, kata-kata pada baris 1
berstatus sebagai syarat (sebab) dan kata-kata pada baris 2 berstatus sebagai
jawaban (akibat).
Contoh Gurindam Banjar :
Kiasan Banjar adalah kata-kata kiasan dalam
bahasa
Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris-baris puisi/(
peribahasa Banjar
berbentuk puisi yang dipergunakan sebagai sarana untuk menyampaikan suatu
maksud secara tidak langsung kepada orang lain.
Kias dalam bahasa Indonesia sama saja artinya dengan kias dalam bahasa
Banjar.
Contoh Kiasan Banjar :
1.
Baduduk salah,
badiri salah
2.
Bapatah bilah,
bapatah harang
3.
Dalas jadi habu
jadi harang
4.
Disambat mati
uma, kada disambat mati abah
6.
Kaya kalambuai,
naik kawa, turun kada kawa
7.
Kaya bulan lawan
bintang
12.
Naik di pinang
turun di hanau
13.
Naik di pinang
turun di rukam
14.
Pilanduk bisa
kalumpanan lawan jarat, jarat kada kalumpanan lawan pilanduk
15.
Salapik
sakaguringan, sabantal sakalang gulu
16.
Sarantang
saruntung samuak saliur
17.
Urang nangkanya,
saurang gatahnya
- Wani manimbai, wani manajuni
Mamang Papadah adalah suatu bentuk peribahasa Banjar yang berupa
kata-kata dalam
bahasa Banjar yang disusun
sedemikian rupa dalam bentuk baris-baris puisi yang dipergunakan sebagai sarana
untuk memberikan pengertian, menganjurkan, melarang, mengajarkan suatu pegangan
hidup, memberi petuah, dan menyuruh kepada suatu kebaikan.
Contoh Mamang Papadah :
2.
Akal diakali,
pikir dipikirakan
3.
Allahhu wahadah,
Inya mambari kada bawadah, Inya maambil kada bapadah
4.
Badiri sadang
baduduk sadang
5.
Baik sakit di
mata pada sakit di hati
6.
Baik manyasal di
hulu riam, pada manyasal sudah ka hilir riam. [1]
7.
Halus-halus iwak,
ganal-ganal biawak
8.
Kada diam parang
kada diam pisau
9.
Kambang kada
sakaki, kumbang kada saikung, alam kada batawing
10.
Lain danau lain
iwaknya
11.
Raja lawan putri,
pantul lawan amban
12.
Tabarusuk batis
kawa dicabut, tabarusuk basa jadi hual.
Pameo Huhulutan adalah kata-kata dalam
bahasa
Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk baris-baris puisi
yang dipergunakan sebagai sarana untuk mengolok-olok, mencaci-maki, mengejek,
mengeritik, menghina, atau menyindir seseorang atau suatu keadaan. Pameo
Huhulutan termasuk
peribahasa Banjar
berbentuk puisi.
Contoh Pameo Huhulutan :
- Ada
kada malabihi, kada ada kada mangurangi
- Ada
sifat ada kijik
- Asam
janar, siapa marasa banar
- Diam
parang, diam pisau
- Dicari
sahari dimakan sahari
- Di
situ makan di situ bahira
- Diulah
baju kaganalan, diulah salawar kahalusan
- Handak
angkung langsat tadapat bangkung tiwadak
- Ia
kandang ia babi
- Imbah
satabul satabul pulang
- Kada
purun tikus, matan purun banar
- Lagi
di banua saurang kaya macan, sudah di banua urang kaya acan
- Lain
nang disurung, lain nang dikalang
- Lancar
pandir bahira maucir
- Mana
manyatang mana manyatupur
- Mata
kaya mata maling
- Salagi
bungkuk, salagi dihantak
- Tabang
nani rabah ka natu, tabang natu rabah ka nani
- Tangga
urang diulur, tangga saurang ditarik
- Turun hayam naik hayam
- Urang
manyurung tungkat, inya manyurung galagar
- Ya surak
ya maling
Saluka Banjar (Seloka Banjar) adalah kata-kata dalam
bahasa
Banjar yang disusun sedemikian rupa dalam bentuk puisi 2 baris atau
4 baris bersajak akhir vertikal a/a, a/a/a/a, a/a/b/b, a/b/a/b.
Contoh Saluka Banjar :
- Nang
manis, jangan lakas ditaguk. Nang pahit, jangan lakas diluak
- Parak
bau tahi, jauh bau kambang. Parak bakalahi, jauh bagaganangan
- Tik
nung kalikir pacah. Itik bakunyung kada basah
- Ujar
habar banyak baiwak, saikung-ikung kada mawadi. Ujar habar banyak nang
handak, saikung-ikung kadada nang jadi.
Perbedaan bentuk fisik antara peribahasa
Banjar yang berbentuk puisi dengan peribahasa Banjar yang berbentuk kalimat
terletak pada jenis gaya bahasa yang dipergunakannya. Peribahasa berbentuk
puisi mempergunakan gaya bahasa perulangan, sementara peribahasa berbentuk
kalimat mempergunakan gaya bahasa perbandingan, pertautan, dan pertentangan.
Simpulan
Berdasarkan paparan dan contoh-contoh di
atas, maka dapat disimpulkan semua ragam/jenis peribahasa Banjar berbentuk
puisi, setidak-tidaknya memiliki salah satu dari 3 ciri karakteristik bentuk,
yakni :
1.
adanya
pengulangan atas kosa-kata yang sama,
2.
adanya kosa-kata
yang hampir sama secara morfologis, dan
3.
adanya kosa-kata
yang saling bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a baik secara vertikal maupun
secara horisontal di awal, di tengah, atau di akhir baris/larisk. Ciri-ciri
karakteristik bentuk yang demkian itu identik dengan gaya bahasa perulangan
(repetisi).
Pantun Banjar
Etimologi,
Definisi, dan Bentuk Fisik
Pantun merupakan
pengembangan lebih lanjut dari Peribahasa
Banjar. Istilah pantun sendiri
menurut Brensetter sebagaimana yang dikutipkan Winstead (dalam Usman, 1954)
berasal dari akar kata tun yang kemudian berubah menjadi tuntun yang artinya teratur atau tersusun. Hampir mirip
dengan tuntun adalah tonton dalam bahasa Tagalog artinya
berbicara menurut aturan tertentu (dalam Semi, 1993:146-147).
Sesuai dengan asal-usul etimologisnya yang
demikian itu, maka pantun memang identik dengan seperangkat kosa-kata yang
disusun sedemikian rupa dengan merujuk kepada sejumlah kriteria konvensional
menyangkut bentuk fisik dan bentuk mental puisi rakyat anonim.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria konvensional
yang harus dirujuk dalam hal bentuk fisik dan bentuk mental pantun ini,
yakni : (1) setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah,
(2) jumlah baris dalam satu baitnya minimal 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris
(pantun biasa dan pantun berkait), (3) pola formulaik persajakannya merujuk
kepada sajak akhir vertikal dengan pola a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b,
dan a/b/a/b (pantun biasa dan pantun berkait), (4) khusus untuk pantun kilat,
baris 1 berstatus sampiran dan baris 2 berstatus isi, (5) khusus untuk pantun
biasa dan pantun berkait, baris 1-2 berstatus sampiran dan baris 3-4 berstatus
isi, dan (6) lebih khusus lagi, pantun berkait ada juga yang semua barisnya
berstatus isi, tidak ada yang berstatus sampiran.
Zaidan dkk (1994:143)mendefinisikan pantun
sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 larik dengan rima akhir a/b/a/b.
Setiap larik biasanya terdiri atas 4 kata, larik 1-2 merupakan sampiran, larik
3-4 merupakan isi. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara sampiran dan isi ini,
pantun dapat dipilah-pilah menjadi 2 genre/jenis, yakni pantun mulia dan pantun
tak mulia.
Disebut pantun
mulia jika sampiran pada larik 1-2
berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi
sebagai isyarat isi. Sementara, pantun
tak mulia adalah pantun yang
sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan isi secara fonetis saja,
tidak ada hubungan semantik apa-apa dengan isi pantun di larik 3-4.
Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan pantun
sebagai jenis puisi lama yang terdiri atas 4 baris dalam satu baitnya. Baris
1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 saling
bersajak akhir vertikal dengan pola a/b/a/b.
Hampir semua suku bangsa di tanah air kita
memiliki khasanah pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti (1994:2), orang Jawa menyebutnya parikan, orang Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, orang Mandailing menyebutnya
ende-ende, orang Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, sementara orang Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan genre/jenis puisi rakyat lainnya, pantun
merupakan puisi rakyat yang murni berasal dari kecerdasan linguistik local
genius bangsa Indonesia sendiri.
Istilah pantun tidak ditemukan padanannya
dalam bahasa Banjar, sehubungan dengan itu istilah ini langsung saja
diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama yang ada dalam khasanah puisi rakyat anonim berbahasa Banjar (Folklor
Banjar).
Dalam definisi yang sederhana pantun Banjar adalah
pantun yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar.
Definisi pantun Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan
yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan
bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi khusus yang berlaku dalam
khasanah folklor Banjar.
Fungsi
Sosial Pantun Banjar
Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih
jaya-jayanya (1526-1860), pantun tidak hanya difungsikan sebagai sarana hiburan
rakyat semata, tetapi juga difungsikan sebagai sarana retorika yang sangat
fungsional, sehingga para tokoh pimpinan masyarakat formal dan informal harus
mempelajari dan menguasainya dengan baik, yakni piawai dalam mengolah
kosa-katanya dan piawai pula dalam membacakannya.
Tidak hanya itu, di setiap desa juga harus
ada orang-orang yang secara khusus menekuni karier sebagai tukang olah dan
tukang baca pantun (bahasa Banjar Pamantunan). Uji
publik kemampuan atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan langsung di
depan khalayak ramai dalam ajang adu pantun atau saling bertukar pantun yang
dalam bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan tidak boleh tampil
sembarangan, karena yang dipertaruhkan dalam ajang Baturai Pantun ini tidak
hanya kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang
diwakilinya.
Pamantunan merupakan seniman penghibur rakyat
yang bekerja mencari nafkah secara mandiri dengan mengandalkan kemampuannya
dalam mengolah kosa-kata berbahasa Banjar sehingga dapat dijadikan sebagai
sarana retorika yang fungional.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional
yang harus dipenuhi oleh seorang Pamantunan, yakni : (1) terampil mengolah
kosa-katanya sesuai dengan tuntutan yang berlaku dalam struktur bentuk fisik
pantun Banjar, (2) terampil mengolah tema dan amanat yang menjadi unsur utama
bentuk mental pantun Banjar, (3) terampil mengolah vokal ketika menuturkannya
sebagai sarana retorika yang fungsional di depan khalayak ramai, (4) terampil
mengolah lagu ketika menuturkannya sebagai sarana retorika yang fungsional, (5)
terampil dalam hal olah musik penggiring penuturan pantun (menabuh gendang
pantun), dan (6) terampil dalam menata keserasian penampilannya sebagai seorang
Pamantunan.
Tuntutan profesional yang begitu sulit untuk
dipenuhi oleh seorang Pamantunan membuatnya tergoda untuk memperkuat tenaga
kreatifnya dengan cara-cara yang bersifat magis, akibatnya, profesi Pamantunan
pada zaman dahulu kala termasuk profesi kesenimanan yang begitu lekat dengan
dunia mistik. Dalam hal ini sudah menjadi kelaziman di kalangan Pamantunan
ketika itu untuk memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif profesionalnya
dengan kekuatan supranatural yang disebut Pulung.
Pulung adalah kekuatan supranatural yang berasal
dari alam gaib yang diberikan oleh Datu Pantun. Konon, berkat Pulung inilah
seorang Pamantunan dapat mengembangkan bakat alam dan intelektualitasnya hingga
ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni).
Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua
orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamantunan, karena Pulung
hanya diberikan kepada oleh Datu Pantun kepada Pamantunan yang secara genetika
masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Pantun adalah seorang tokoh mistis yang
bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata,
tempat tinggal para dewa kesenian rakyat. Datu Pantun diyakini sebagai orang
pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal pantun di kalangan etnis
Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun,
jika tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas lagi. Proses pembaruan
Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang khusus digelar untuk itu, yakni
Aruh Pantun. Aruh Pantun dilaksanakan pada malam-malam gelap tanggal 21, 23,
25, 27, dan 29) di bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Pantun diundang berhadir dengan cara
membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur
ayam kampung, dan minyak likat baboreh secukupnya. Jika Datu Pantun berkenan
memenuhi undangan, maka Pamantunan yang bersangkutan akan kesurupan (trance)
selama beberapa saat. Sebaliknya, jika Pamantunan tak kunjung kesurupan itu
berarti mandatnya sebagai seorang Pamantunan sudah dicabut oleh Datu Pantun.
Tidak pilihan baginya kecuali mundur secara teratur dari panggung Baturai
Pantun (pensiun).
Pantun Banjar Masa
Kini : Bernasib Buruk
Pada zaman sekarang ini, pantun, khususnya
pantun Banjar, tidak lagi menjadi puisi rakyat yang fungsional di Kalsel. Sudah
puluhan tahun tidak ada lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi
sebagai ajang adu kreatifitas bagi para Pamantunan yang tinggal di desa-desa di
seluruh daerah Kalsel.
Pantun Banjar yang masih bertahan hanya
pantun adat yang dibacakan pada kesempatan meminang atau mengantar pinengset
(bahasa Banjar Patalian). Selebihnya, pantun Banjar cuma diselipkan sebagai
sarana retorika bernuansa humor dalam pidato-pidato resmi para pejabat atau
dalam naskah-naskah tausiah para ulama.
Syukurlah, seiring dengan maraknya otonomi
daerah sejak tahun 2000 yang lalu, ada juga para pihak yang mulai peduli dan
berusaha untuk menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai sarana retorika yang
fungsional (bukan sekedar tempelan). Ada yang berinisiatif menggelar
pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di berbagai kesempatan formal dan informal,
memperkenalkannya melalui publikasi di berbagai koran/majalah, melalui siaran
khusus yang bersifat insidental di berbagai stasiun radio milik pemerintah atau
swasta, dan ada pula yang berinisiatif mememasukannya sebagai bahan pengajaran
muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di seantero daerah Kalsel. Tulisan
saya di Wikipedia ini boleh jadi termasuk salah satu usaha itu.
Sekarang ini di Kalsel sudah beberapa puluh
kali digelar kegiatan lomba tulis Pantun Banjar bagi para peserta di berbagai
tingkatan usia. Tidak ketinggalan Stasiun TVRI Banjamasin juga sudah membuka
acara Baturai Pantun yang digelar seminggu sekali oleh Bapak H. Adjim Arijadi
dengan pembawa acara Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan.